Kisah cinta tidak ada habisnya untuk diceritakan. Juga tak bikin bosan meski diceritakan berulang-ulang. Bahkan, kisah cintalah yang kerap mengabadi. Entah, apa yang membuat kisah cinta itu demikian memikat. Mungkin karena manusia adalah makhluk yang diciptakan dari cinta dan membutuhkan cinta?
Mungkin saja begitu. Tetapi, saya kira ada begitu banyak kemungkinan untuk menjawab pertanyaan itu. Terlebih, setiap manusia memiliki kesan mendalam tentang kisah-kisah cinta yang tentu berbeda satu sama lain. Setiap orang memiliki pengalaman batin yang tentu pula berbeda berkaitan dengan cinta.
Pengalaman batin dan kesan mendalam yang berbeda-beda itu pula yang kemudian melahirkan beragam cara manusia mengekspresikan rasa cintanya. Tetapi, keberagaman ekspresi itu menunjukkan hal yang serupa. Yaitu, berupaya mengaktualisasikan perasaan terdalamnya kepada yang dicintai.
Apa yang diaktualisasikan? Tidak lain adalah kisah-kisah perjalanan cinta yang naik-turun dan berliku-liku. Perjalanan itu membawa manusia berhadap-hadapan dengan berbagai peristiwa. Kadang jatuh, lalu bangun lagi. Jatuh lagi, sempat terpuruk tak berdaya. Kemudian bangkit lagi. Berjalan lagi. Jatuh lagi. Berulang-ulang tanpa henti.
Pada titik tertentu, peristiwa-peristiwa itu dihimpun dalam permenungan yang dalam. Diendapkan semua yang pernah dialami, disingkirkannya segala yang menjadi keinginan. Dibacanya kembali apa yang semestinya, hingga pada akhirnya ada semacam kristalisasi dari seluruh putaran waktu yang dilewati.
Proses kristalisasi ini tidak mudah dilakukan. Juga tidak begitu ringan untuk dijalankan. Malahan, diperlukan kekuatan dan keteguhan batin yang benar-benar mapan. Siap menerima segala kemungkinan terburuk dalam kehidupan yang dijalani.
Itulah yang saya petik dari sebuah lagu yang digubah seorang dosen gokil, mas Sendy Noviko. Ia dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Djenderal Soedirman, Purwokerto. Tepatnya, dosen sosiologi.
Lagu itu ia nyanyikan dengan iringan petikan gitar, gesekan cello, dan violin. Terasa menyayat dan membuat hati meleleh seketika. Padahal, saat itu, kami baru saja latihan untuk persiapan manggung di kafe Teman Cerita, Pekalongan. Kami juga baru kali pertama bertemu dan akan satu panggung malam itu. Tetapi, titian nada lagu "Seperti Cinta Ini" ciptaan mas Sendy benar-benar mampu menyihir perasaan saya kala itu. Ada getaran hati yang tak tertahan. Ada tangis yang saya sembunyikan di dalam ceruk hati terdalam dan saya tahan agar tak meluap, apalagi sampai tumpah.
Penasaran dengan daya sihir kata dan nada itu, saya lantas tanyakan kepada mas Sendy. "Ini lagu dari mana awalnya, mas? Pengalaman pribadi atau apa?" tanya saya.
Ia tak lekas menjawab. Hanya mengirimkan isyarat dari sorot matanya. "Saya kira, kita sama-sama pahamlah, Kang. Karena saya yakin, kita punya frekuensi yang sama."
Sebuah jawaban yang diplomatis. Saya memahami itu. Apalagi situasi di ruang latihan saat itu juga ada beberapa orang lain. Tentu, ia tak ingin terlalu banyak bercerita tentang lagunya itu. Ia hanya ingin para penonton nanti dapat menikmati lagu itu tanpa terganggu oleh cerita di balik layar.Â
Saya sepakat, sebaiknya sebuah lagu memang tak perlu diantar oleh kisah di balik pembuatan lagu itu. Biarkan saja nada-nada itu tertangkap telinga dan menggema di dalam relung hati para penikmatnya. Lalu, biarkan pula nada-nada itu merasuk ke dalam batin mereka.
Dan, saya juga sepakat bahwa nyanyian pada dasarnya menjadi media yang paling ampuh untuk menyisipkan pikiran, pesan, dan perasaan. Ia adalah sesuatu yang kompleks. Tak heran jika sejumlah filsuf Yunani Kuno menempatkan musik sebagai studi yang sangat penting.
Pythagoras percaya, musik tunduk pada hukum matematika. Bahkan, bertalian pula dengan mekanika kosmos, yang kemudian berkembang sebagai musik bola. Pemikiran ini juga dapat dibaca melalui pandangan Aristoxenus. Ia menulis sejumlah risalah musikologi. Aristoxenus percaya, interval harus dinilai dengan telinga dan bukan rasio matematika.
Hal serupa juga dikembangkan oleh para filsuf Islam di kemudian hari. Al Farabi misalnya. Ia bahkan dikenal sebagai Bapak Musik di dunia Islam. Secara khusus, ia menulis sebuah kitab berjudul Kitab Al Musiqi. Buku ini pula yang kemudian dijadikan rujukan bagi pengembangan musik klasik Barat.
Belum lagi Imam Al Ghazali. Dalam Kitab Ihya Ulumiddin, Al Ghazali menyebutkan, "Orang yang jiwanya tak tergerak oleh semilir angin, bunga-bunga, dan suara seruling musim semi, adalah dia yang kehilangan jiwanya yang sulit terobati".
Baiklah, agar anda tidak terlalu penasaran, silakan nikmati lagu "Seperti Cinta Ini" yang dibawakan oleh kelompok musik Ujung Kuku. Kira-kira, akan dibawa kemana jiwa Anda dengan alunan nadanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H