Mata saya terbelalak, diikuti mulut saya menganga, ketika layar plasma pada handphone menayangkan sebuah video seorang artis yang memamerkan hasil operasi wajah. Hidung artis itu tampak lebih mancung. Tulang rahangnya tampak lebih tirus, sehingga membuat dagunya tampak lebih runcing dari sebelumnya. Begitu pula tulang pipinya yang tampak lebih menonjol.
Peristiwa itu mengingatkan saya pada kisah Cinderella. Dibantu seorang peri, dalam waktu sekejap, Cinderella tampil bak seorang bidadari yang memikat hati sang pangeran. Wajah Cinderella benar-benar membuat gundah hati sang pangeran setelah pertemuan singkatnya itu. Sang pangeran kemudian memburu keberadaan Cinderella dengan sepatu kaca yang ditinggalkan Cinderella di lantai dansa.
Sayang, saya bukan pangeran seperti dalam kisah Cinderella. Cukuplah saya hanya dengan rasa kagum pada perubahan wajah artis itu. Akan tetapi, kekaguman saya tidak semata-mata pada wajah baru sang artis. Saya kagum justru karena perubahan wajah itu menandakan kecanggihan dunia kedokteran saat ini. Ia mampu mengubah sesuatu yang semula kurang diminati menjadi perihal yang memiliki daya pikat.
Sudah pasti dunia kedokteran berbeda dengan dunia sihir. Perubahan yang terjadi pada wajah artis itu juga tidak serta merta. Butuh proses yang memakan waktu cukup lama untuk bisa mengubah bentuk wajah seperti itu. Butuh proses untuk merasakan kesakitan pula walau rasa sakit itu bisa diredam dengan obat bius. Bahkan, biayanya pun bisa menguras isi rekening bank.
Meski begitu, saat memberikan pengakuan, bibir sang artis itu tampak tersenyum lebar. Sepasang bola matanya tampak lebih bercahaya. Ia merasa pilihannya adalah tepat, karena itulah yang diinginkan. Malahan, ia juga mengaku masih ingin menjalani operasi lagi agar tampilannya menjadi sempurna.
Mungkin itulah cara ia membahagiakan diri. Memilih sesuatu yang diinginkan dan berusaha sekuat mungkin menjalani konsekuensinya. Begitu ia mampu melewati, kebahagiaan yang ia terima.
Akan tetapi, muncul dalam benak sebuah pertanyaan kecil. Jika ia bahagia, bagaimana dengan tubuh itu sendiri? Apakah tubuhnya juga merasakan hal yang dirasakan sang artis? Saya tak bisa menyimpulkan. Pertanyaan kecil itu justru menuntun saya untuk membaca tubuh.
Apa itu tubuh? Bagaimana pula tubuh menjalankan sistem kerja? Dua pertanyaan itu mendadak memaksa saya untuk mencari buku-buku yang bertengger di rak buku.
Tak butuh waktu lama untuk mencarinya. Saya cukup hafal tata letak buku-buku itu. Beberapa judul buku saya pungut dari rak buku, kemudian satu per satu saya baca.
Kembali bola mata saya terbelalak. Tetapi, apa yang membuat saya membelalakkan mata tidak sama dengan kejadian tadi. Kedua mata saya membelalak karena ada sesuatu yang memang benar-benar saya pahami. Bahwa, tubuh manusia ternyata tidak sekadar tubuh. Akan tetapi, di dalam tubuh manusia terdapat banyak jenis makhluk hidup. Jumlahnya juga tidak sedikit. Bisa mencapai miliaran, bahkan triliunan.
Sekian makhluk yang menghuni tubuh manusia di antaranya adalah sel, virus, bakteri, jemur, dan lain-lain. Jumlah masing-masing mereka bisa mencapai ratusan miliaran atau triliunan. Mereka menyebar di sekujur tubuh manusia. Ada yang tinggal di dalam organ tubuh manusia. Ada juga yang tinggal di bagian-bagian terluar dari tubuh manusia. Semua hidup, semua juga menjalankan sebuah sistem yang kompleks.