Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bangsa yang Kehilangan Sejarah (Bagian 01)

7 Agustus 2022   12:16 Diperbarui: 7 Agustus 2022   12:35 1228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahkota raja Kerajaan Kutai di masa pemerintahan Sultan Muhammad Sulaiman  (sumber foto: artoftheancestors.com)

Wong Jawa ilang Jawan. Agaknya adagium itu tak sekadar menjadi sindiran, melainkan fakta yang aktual. Bagaimana tidak, di tengah riuh ramai dunia perpolitikan---apalagi jelang 2024---para elite politik sudah mulai pasang kuda-kuda bersiap meluncur atau bahkan sudah mencuri start dari lawan-lawannya. 

Sebagian dari mereka memikirkan tentang kemenangan dalam lomba memajang baliho, spanduk, pamflet, dan lain-lain. Tetapi, apakah arti kemenangan itu bagi rakyat? Apakah itu juga menjadi yang para elite pikirkan? Entahlah! Saya tidak tahu. Yang bisa menjawab ya para peserta lomba yang diselenggarakan KPU.

Terlepas dari persoalan itu, saya tak sedang ingin membahas itu. Meski isu-isu politik tentu selalu menggelitik, walau sebenarnya (maaf) sudah sangat usang. Yang ingin saya sampaikan di sini hanya semacam obrolan tentang melihat masa lampau dari perspektif seorang filolog Sanskerta dan Jawa Kuna dari Universitas Gadjah Mada, K.R.T. Manu J. Widyaseputra.

Nama beliau belakangan sering muncul di beranda YouTube. Saya memang sering mengikuti ceramah-ceramahnya dan diskusi-diskusi beliau yang kerap tak terduga-duga. Membuat saya mesti merenung dan melakukan serangkaian pembacaan ulang atas apa-apa yang kadung diamini sebagai "kebenaran". Meski sebenarnya, kebenaran manusia itu bukan hanya relatif, melainkan beriring pula dengan perubahan zaman.

Saya kira, para politisi---khususnya di lini elite---perlu belajar pada beliau. Sangat perlu dan harus. Bukan hanya karena keilmuan beliau tentunya, akan tetapi juga karena, menurut saya, para elite perlu belajar lebih banyak tentang apa, siapa, dan bagaimana negeri ini di masa lampau. Sehingga, saat mereka berkuasa tidak menjadi penguasa yang tercerabut dari akar sejarah bangsanya.

Sejarah. Ya, sejarah bangsa ini memang kadung buram seburam-buramnya. Tetapi, itu mestinya bukan menjadi alasan untuk tidak menyentuh dan berusaha menyingkap tabirnya. 

Diakui atau tidak, sejarah di negeri ini terlalu banyak dipolitisir. Sehingga, bukan lagi sejarah politik yang hadir di tengah-tengah masyarakat, melainkan politik sejarah. Itu masih mending baik dibandingkan dengan manipulasi sejarah. Tetapi, mana yang sesungguhnya terjadi? Manipulasi ataukah politik sejarah?

Lagi-lagi saya tak sanggup memberikan jawaban. Bagi saya, lebih baik saya berusaha menjadi pembaca atau pendengar yang baik terlebih dahulu. Lalu, berupaya menjadi seorang pencatat dari segala yang saya dengar dan saya lihat.

Seperti beberapa waktu lalu, saya sempat menyimak sebuah tayangan video berdurasi 17 menit 35 detik, di kanal YouTube Caknun.com tertanggal 30 Juli 2022. Judul video itu "Tatanan Pergantian Raja dalam Kerajaan Nusantara". Per tanggal 6 Agustus 2022, pukul 03.08, video itu sudah ditonton oleh 20.664 orang, dengan jempol 778.

Jika deret angka itu disandingkan dengan podcast Deddy Corbuzier, terutama video terbarunya bersama Pak Menteri Kominfo, tentu sangat jauh selisihnya. Tetapi, saya tidak akan mempersoalkan itu. Menurut saya, materi yang disampaikan Romo Manu (demikian Prof. Manu karib disapa) tak kalah serunya. Apalagi menyoal konstelasi kekuasaan di masa kerajaan-kerajaan Nusantara Kuno.

Jelas, apa yang disampaikan Romo Manu sangat berbeda dari apa-apa yang telah menjadi patokan kebanyakan orang saat ini. Bagaimana tidak, dalam tayangan itu Prof. Manu mengungkapkan bahwa proses peralihan kekuasaan pada masa kerajaan-kerajaan Kuno tidak disertai unsupator alias perebutan kekuasan. Sebaliknya, peralihan kekuasaan dilangsungkan dengan cara yang elegan. Tampil sebagai proses regenerasi kekuasaan.

Maka, oleh pakar naskah Sanskerta ini disebutkan, peralihan kekuasaan itu tidak menimbulkan kekisruhan di masyarakat. Tidak pula membuat konflik yang berlarut-larut di antara para raja. 

Malahan, aksi bunuh-membunuh di antara para raja---seperti yang galib kita pahami saat ini---dinyatakannya tidak pernah terjadi. Semua berjalan damai. Jeduer! Seketika otak saya meleleh oleh ledakan kata-kata Romo Manu. 

Pikiran saya langsung tertuju pada pelajaran sejarah saat saya dulu masih mengusap ingus di dalam kelas sambil mendengarkan ceramah guru sejarah.

Bukan karena tak percaya, melainkan saya berpikir, bagaimana mungkin sejarah yang diajarkan di kelas-kelas menjadi berbeda dengan apa yang disampaikan Prof. Manu? Tetapi, pertanyaan itu tak pula membuat saya berkewajiban membenarkan atau menyalahkan salah satu di antara kedua pandangan itu.

Sesegera mungkin saya kemasi terlebih dahulu berkas-berkas yang terselip dalam ingatan saya, tentang kisah-kisah lampau yang pernah saya dengar dari guru sejarah saya. Saya simpan rapat-rapat. Saya siapkan diri untuk mendengar dan menerima keterangan-keterangan yang secara hati-hati disampaikan Prof. Manu.

Urut, ia sampaikan keterangan itu setahap demi setahap. Mulai dari mengenalkan konsep ketatanegaraan yang diamini semua kerajaan di Nusantara. Katanya, "Dulu itu ya, di dalam perjalanan sebuah peradaban, termasuk nanti negara, (kerajaan-kerajaan) itu akan melewati tiga fase (perkembangan). Itu yang disebut bhawacakra. (Fase-fase) itu mesti ada Upati atau masa lahir, Setiti masa hidup, kemudian Pralina masa regenerasi."

Lebih mendalam, Romo Manu lantas memberi penjelasan. Terutama mengenai Pralina. Oleh sebagian orang, Pralina dianggap sebagai masa kehancuran kerajaan. Padahal, menurutnya, bukan itu. Pralina adalah masa regenerasi kekuasaan.

Tiga fase tersebut akan dilalui oleh semua kerajaan di Nusantara. Bhawacakra berlaku bagi semua kerajaan dari masa ke masa. Boleh dibilang, konsep bhawacakra adalah patron yang telah mengikat menjadi hukum abadi.

Menukik lagi, Romo Manu pun menambahkan keterangan. Bahwa tiap-tiap kerajaan di Nusantara hanya akan bertahan kekuasaannya sampai pada raja kesembilan. Selepas itu, mesti ada proses regenerasi. Penyegaran sekaligus peningkatan strata kekuasaan.

Sebagai misal, kerajaan Mataram Kuno. Kerajaan ini setelah melewati 9 raja, maka muncullah kekuasaan baru. Lahir dinasti baru yang menggantikan peran kekuasaannya, yaitu dinasti Isyana di bawah kepemimpinan Mpu Sindok. Sejak itu pula pusat kekuasaan dipindahkan ke Jawa Timur.

"Demikian pula pada masa Medang, Kahuripan, Kadiri, Singhasari, Majapahit, dan seterusnya. Jadi, ketika sebuah kerajaan sudah melewati 9 raja itu harus ada regenerasi," tutur Romo Manu dengan penuh cermat.

Sampai di sini, tombol jeda yang terpampang di sudut kanan bawah kotak layar tayangan video YouTube saya pencet dengan pointer. Saya mesti mengangkat cangkir kopi dan sedikit menyeruputnya. Sembari menyeruput, saya pun berusaha mencerna apa yang dimaksud dengan istilah regenerasi yang diajukan Prof. Manu. 

Sebab, kalau berdasarkan istilah perkamusan, regenerasi semakna dengan peremajaan alias pergantian generasi tua kepada generasi muda. Secara khusus, istilah ini juga bertalian dengan bidang biologi yang diartikan sebagai penggantian alat yang rusak atau yang hilang dengan pembentukan jaringan sel baru.

Jika merujuk pada peristilahan bidang biologi, maka regenerasi terjadi tidak mengubah sistem. Tidak pula mengubah bentuk. Regenerasi juga terjadi secara alamiah. Akan tetapi, regenerasi hanya sebuah upaya memperbaiki kerja organ supaya berjalan sesuai kodratnya melalui proses pembentukan jaringan sel baru. 

Dengan pengibaratan seperti itu, anggaplah kerajaan adalah organ tubuh manusia. Maka, peralihan kekuasaan pada masa itu saya imajinasikan sebagai proses pergantian kekuasaan yang tidak mengubah bentuk dan sistemnya. Pergantian itu hanya dilakukan pada elemen-elemen dasar yang mendorong perbaikan-perbaikan kerja dan menjaga keseimbangan dan keselarasan.

Meski begitu, kalau masih merujuk pada peristilahan bidang biologi, regenerasi terjadi secara periodik. Sebagaimana yang terjadi pada sel darah puih. Regenerasi sel darah putih terjadi tiap dua hari sekali. Sel darah putih lama mati, digantikan dengan sel darah putih yang baru. Maka, 9 raja boleh jadi adalah hitungan periodik yang menjadi dasar dari proses peralihan kekuasaan itu.

Saya kembali melanjutkan tontonan saya di layar. Tombol play saya pencet lagi. Romo Manu melanjutkan tuturannya.

Seperti diungkapkan Romo Manu, pergantian atau peralihan kekuasaan pada masa itu dilangsungkan secara damai. Tidak sampai menimbulkan kekisruhan di masyarakat. Tidak pula melibatkan masyarakat bawah untuk ikut dalam peralihan itu. Maka, perpecahan di antara rakyat pun dapat dihindarkan. Bahkan, oleh Romo Manu disebutkan, perpecahan di antara para raja sendiri pun tidak terjadi. Semua dilaksanakan dengan tingkat kesadaran yang setara, sama-sama tingginya.

Tak heran jika perspektif orang masa kini yang menganggap bahwa pergantian kekuasaan di masa itu dilakukan dengan menumpahkan darah di antara para raja dibantah pula oleh Romo Manu. Katanya, tidak ada aksi bunuh-membunuh di antara para raja. 

Saya tergelegak mendengar keterangan itu. Sebab, kisah-kisah peralihan kekuasaan para raja, oleh guru-guru sejarah saya dulu, selalu dikisahkan dengan pertumpahan darah di antara mereka seperti yang terjadi pada Ken Arok. Atau seperti pada kisah Raden Patah saat meminta kemerdekaan atas Kesultanan Demak dari Majapahit. Meski tak ada darah raja yang tertumpah, kisah-kisah tentang Demak kerap dikaitkan dengan penggulingan kekuasaan Majapahit.

Saya makin kepo. Bagaimana bisa hal-hal semacam itu dilewatkan dan dianggap tidak pernah ada? Ah! Saya sempat berprasangka, apa yang disampaikan Romo Manu tak cukup kuat. Tetapi, prasangka itu buru-buru saya ringkus dari pikiran. 

Saya tak ingin menyimpulkan terlalu dini atas apa-apa yang belum tuntas diungkapkan Romo Manu. Begitu juga dengan tulisan ini, masih belum tuntas. Namun, saat ini saya mesti memungkasi tulisan ini sampai di sini. Untuk memberi jeda, memberi masa istirahat sejenak pada pikiran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun