Maka, oleh pakar naskah Sanskerta ini disebutkan, peralihan kekuasaan itu tidak menimbulkan kekisruhan di masyarakat. Tidak pula membuat konflik yang berlarut-larut di antara para raja.Â
Malahan, aksi bunuh-membunuh di antara para raja---seperti yang galib kita pahami saat ini---dinyatakannya tidak pernah terjadi. Semua berjalan damai. Jeduer! Seketika otak saya meleleh oleh ledakan kata-kata Romo Manu.Â
Pikiran saya langsung tertuju pada pelajaran sejarah saat saya dulu masih mengusap ingus di dalam kelas sambil mendengarkan ceramah guru sejarah.
Bukan karena tak percaya, melainkan saya berpikir, bagaimana mungkin sejarah yang diajarkan di kelas-kelas menjadi berbeda dengan apa yang disampaikan Prof. Manu? Tetapi, pertanyaan itu tak pula membuat saya berkewajiban membenarkan atau menyalahkan salah satu di antara kedua pandangan itu.
Sesegera mungkin saya kemasi terlebih dahulu berkas-berkas yang terselip dalam ingatan saya, tentang kisah-kisah lampau yang pernah saya dengar dari guru sejarah saya. Saya simpan rapat-rapat. Saya siapkan diri untuk mendengar dan menerima keterangan-keterangan yang secara hati-hati disampaikan Prof. Manu.
Urut, ia sampaikan keterangan itu setahap demi setahap. Mulai dari mengenalkan konsep ketatanegaraan yang diamini semua kerajaan di Nusantara. Katanya, "Dulu itu ya, di dalam perjalanan sebuah peradaban, termasuk nanti negara, (kerajaan-kerajaan) itu akan melewati tiga fase (perkembangan). Itu yang disebut bhawacakra. (Fase-fase) itu mesti ada Upati atau masa lahir, Setiti masa hidup, kemudian Pralina masa regenerasi."
Lebih mendalam, Romo Manu lantas memberi penjelasan. Terutama mengenai Pralina. Oleh sebagian orang, Pralina dianggap sebagai masa kehancuran kerajaan. Padahal, menurutnya, bukan itu. Pralina adalah masa regenerasi kekuasaan.
Tiga fase tersebut akan dilalui oleh semua kerajaan di Nusantara. Bhawacakra berlaku bagi semua kerajaan dari masa ke masa. Boleh dibilang, konsep bhawacakra adalah patron yang telah mengikat menjadi hukum abadi.
Menukik lagi, Romo Manu pun menambahkan keterangan. Bahwa tiap-tiap kerajaan di Nusantara hanya akan bertahan kekuasaannya sampai pada raja kesembilan. Selepas itu, mesti ada proses regenerasi. Penyegaran sekaligus peningkatan strata kekuasaan.
Sebagai misal, kerajaan Mataram Kuno. Kerajaan ini setelah melewati 9 raja, maka muncullah kekuasaan baru. Lahir dinasti baru yang menggantikan peran kekuasaannya, yaitu dinasti Isyana di bawah kepemimpinan Mpu Sindok. Sejak itu pula pusat kekuasaan dipindahkan ke Jawa Timur.
"Demikian pula pada masa Medang, Kahuripan, Kadiri, Singhasari, Majapahit, dan seterusnya. Jadi, ketika sebuah kerajaan sudah melewati 9 raja itu harus ada regenerasi," tutur Romo Manu dengan penuh cermat.