Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membaca adalah Wujud Cinta

18 Juli 2022   03:28 Diperbarui: 18 Juli 2022   03:47 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setimbang dengan sebuah pengembaraan, seseorang yang pergi jauh meninggalkan tanah kelahirannya dan tiba di suatu kota yang tak ia kenali sebelumnya, ia akan merasa asing. Lebih-lebih ketika ia dihadapkan dengan pemandangan dan bentuk kehidupan yang sama sekali berbeda dengan tanah kelahirannya. Sudah pasti ia akan terkejut dengan apa-apa yang ada di hadapannya.

Mungkin heran, karena semua yang berlaku di kota singgahnya itu tidak sama dengan asalnya. Mungkin kagum, karena segala yang ditemuinya dirasa lebih baik dari tempat asalnya. Mungkin pula merasa tak nyaman, sebab apa yang berlaku di kota singgahnya itu pemandangan yang tidak pantas untuk ia saksikan.

Segala bentuk tanggapan itu amatlah wajar. Ia belum mengenal betul tempat yang ia singgahi. Tetapi, bagi seorang musafir sejati, apapun kenyataan yang dihadapinya, di tempat-tempat ia singgah, akan diterima dengan lapang dada. Kenyataan yang ia saksikan pada hakikatnya adalah buah-buah pelajaran kehidupan. Maka, tak pandang apakah rasa buah itu manis, asam, atau pahit, ia tak segan untuk memetik dan merasakannya. Dari situlah, lantas segala makna akan ia peroleh.

Tersebab itu, seorang musafir sejati adalah orang yang di dalam perjalanannya senantiasa berusaha mengakrabi segala hal yang dihadapinya. Sekalipun asing, ia tidak merasa terasing. Ia berusaha mengenali apa saja yang ada di hadapannya. Membaca tiap peristiwa yang dihadapinya sebagai tanda-tanda.

Begitulah seorang musafir sejati. Pada hakikatnya, ia adalah seorang pencinta. Sebab, salah satu tanda cinta seseorang adalah kesanggupannya dengan sungguh-sungguh untuk terus mengenali apa saja yang ia temui. Berusaha menemukan makna yang berlapis-lapis dari sebuah peristiwa. Berusaha untuk terus setia menjadi seorang pembaca yang baik.

Dan, seorang pembaca yang baik adalah ia yang tekun membaca segala hal. Bukan agar ia menjadi pintar semata-mata, bukan pula agar ia memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. Akan tetapi, agar ia menjadi pribadi yang bijaksana.

Demikian pula dalam hal rasa cinta kepada Kanjeng Nabi Muhammad saw. Seseorang yang mencintai beliau, semestinya sangat haus akan pengetahuan tentang beliau. Dalam kehausannya akan pengetahuan itu, ia akan sungguh-sungguh untuk menggali pengetahuan tentang manusia mulia yang amat dicintainya itu.

Tidak cukup hanya dengan menyimak tuturan kisah-kisah mengenai Kanjeng Nabi. Ia akan mencari sumber-sumber bacaan tentang kisah hidup dan pribadi Kanjeng Nabi. Tidak hanya dengan bacaan tentang kisah-kisah beliau, seorang pencinta juga akan berusaha mempelajari tiap-tiap bacaan itu dengan tekun hingga menemukan makna di balik setiap peristiwa dalam kisah-kisah itu. 

Ia juga akan berusaha sedapat mungkin membayangkan dan merasakan bagaimana jika ia berada dalam peristiwa-peristiwa yang dikisahkan. Sampai akhirnya ia mengerti, bagaimana pikiran dan perasaan orang yang dicintainya itu dalam mengarungi samudra kehidupan. Bagaimana pula pikiran dan perasaan orang yang amat ia cintai itu ketika menyaksikan apa yang terjadi di masa kini.

Maka, menjadi penting bagi umat Islam, khususnya lagi bagi jamaah Majelis Taklim Al Maliki Pekalongan, untuk senantiasa menyediakan waktu membaca kisah dan hadits-hadist beliau. Jika perlu, bahkan memang sangat diperlukan, tiap-tiap butiran mutiara dari ucapan ataupun perbuatan beliau itu dikaji secara mendalam. Bukan untuk membuat dada kita mudah membusung karena merasa memiliki cukup pengetahuan, lalu sekadar dijadikan alat untuk beradu pendapat, melainkan untuk menambah rasa cinta kita kepada Kanjeng Nabi Muhammad saw. dengan segenap penghayatan yang penuh.

Kita sadar, bentangan masa antara kita dengan Kanjeng Nabi teramat jauh. Sulit rasanya kita bayangkan. Sulit pula untuk kita jangkau. Tetapi, selayaknya kita masih harus bersyukur, bahwa untuk melintas di atas titian waktu itu, ada banyak sahabat, para tabi' dan tabi'in, juga para imam, yang garis sanad keilmuannya terus menyambung sampai kepada para ulama, habaib, maupun para kiai hingga kini. Di antara mereka, orang-orang alim dan soleh, banyak pula kitab-kitab yang mereka tulis.

Tentu, apa yang telah mereka tulis itu tidak hanya untuk dipajang dalam rak-rak buku. Menjadi hiasan dinding di ruang tamu atau sekadar tumpukan kitab yang dibiarkan berdebu. Beliau-beliau menulis untuk sebuah pewarisan ilmu. Pewarisan yang dilandasi oleh rasa cinta yang teramat besar kepada Kanjeng Nabi Muhammad saw., juga cinta mereka kepada Allah Swt.

Bahkan, untuk menggoreskan satu kata dengan tinta itu, perjuangan mereka tak mudah. Ada kalanya harus ditebus dengan nyawa mereka. Ada pula yang harus mengasingkan diri, jauh-jauh mencari tempat paling sepi. Semua itu dilakukan agar apa yang ditulis itu benar-benar sampai kepada kita.

Belum lagi cara yang dilakukan untuk menghimpun semua fakta, hingga menyusunnya menjadi urut dan memudahkan kita untuk mempelajarinya. Begitu rumit dan tak terbayangkan. Apalagi pada masa itu tak tersedia kemudahan teknologi seperti sekarang ini.

Rasanya, betapa kita sekarang ini begitu bodohnya. Telah menyia-nyiakan kitab karya-karya mereka. Betapa kita telah berlaku tak adil kepada mereka yang begitu susah payah menulis kitab-kitab itu, sedang kita memilih bersikap abai pada karya-karya mereka. Bahkan, yang lebih miris lagi, kita tak jarang hanya mencuplik sebaris kalimat dari sebuah kitab karya mereka, hanya agar bisa membusungkan dada saat beradu pendapat atau berdebat. Padahal, yang mereka ajarkan dalam tulisan-tulisan itu adalah kebijaksanaan dan cinta. Lantas, apa bukti cinta kita?

Pertanyaan itu mungkin menjadi bahan renungan bersama. Sebagaimana disampaikan Rama Kiai Muhammad Saifuddin Amirin, saat mengantarkan pengajian rutinan hari Selasa (13 Juli 2021) malam di Majelis Taklim Al Maliki. Saat beliau duduk bersama dengan Syekh Amar Arrufati, cicit dari Sultanul Auliya Syekh Abdul Qadir Al Jailani. Sekalipun hanya disampaikan dalam satu kalimat pendek, "Membaca hadis-hadis Rasulullah, pada hakikatnya merupakan suatu ikhtiar kita untuk mengenang Kanjeng Nabi."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun