Apa jadinya jika seseorang yang dianggap tokoh penting dalam dunia pendidikan berkata, "Jadi guru nggak perlu idealis-idealis amat. Biasanya, orang yang idealis itu nggak kebagian jatah apa-apa"? Sebentar, Anda nggak perlu repot-repot mengomentarinya. Tak perlu juga menjadi tiba-tiba marah atau bereaksi atas pernyataan itu. Tidak perlu.
Meski sesungguhnya, sepenggal kalimat itu saya dapatkan dari sebuah pengakuan seorang kawan yang kebetulan bekerja sebagai seorang guru di sekolah swasta. Kepada saya, kawan yang sangat intens berdiskusi dan bertukar pikir itu berkisah tentang pengalamannya saat berjumpa dengan orang penting itu.
Spontan, saya kaget mendengar ucapan yang dituturkan ulang oleh kawan saya itu. Saya hanya tak menyangka, ucapan semacam itu justru muncul dari seorang yang memiliki kedudukan penting dalam dunia pendidikan. Sangat sulit dipercaya hal itu terjadi. Tetapi, begitulah kenyataannya.
Atas ucapan itu saya mencoba mencerna, apa sebenarnya yang dimaksud idealis itu? Mungkinkah pernyataan itu ditujukan kepada kawan saya yang oleh tokoh penting ini dianggap "idealis"? Lalu, bagaimana ia bisa menilai kalau kawan saya itu idealis? Mungkinkah pula pernyataan itu muncul hanya karena ada selisih umur yang cukup jauh di antara kawan saya dengan tokoh penting ini? Dan sebagainya, dan sebagainya!
Semakin banyak saja pertanyaan yang akhirnya berloncatan di balik tempurung kepala saya. Termasuk, menanyakan soal jatah. Apa yang dimaksud dengan jatah? Jabatankah? Uangkah? Atau apa?
Tetapi, saya rupanya tak menemukan jawaban apa-apa. Kecuali, mungkin saja itu hanya sebuah nasihat baik dari seorang senior kepada yuniornya yang masih sangat muda. Setidaknya, agar si yunior ini bertindak lebih berhati-hati. Lebih bijaksana. Tetapi, mengapa harus pakai istilah "idealis" dan "jatah"?
Sampai di sini saya makin tak mengerti. Apa sebenarnya maksud dari ucapan itu? Yang ada dalam benak saya adalah bayangan tentang sosok orang penting ini.
Saya tak cukup mengenalnya dengan baik walau beberapa kali pernah bertemu dalam forum-forum kecil. Secara keilmuan, saya mengaku tabik dengan beliau. Bagi saya, beliau adalah orang yang keilmuannya paket komplit. Menguasai keilmuan agama juga menguasai bidang ilmu lainnya.
Pernah saya mengikuti ceramah beliau di atas mimbar. Luar biasa! Beliau bisa sangat menerangkan hal-hal baik dari perspektif agama. Lengkap dengan segala referensinya. Hafal di luar kepala.
Saya dibuat kagum oleh ceramah beliau yang demikian gamblang, mudah dipahami, dan sangat menyentuh. Akan tetapi, pada suatu malam, di atas laju sepeda motor butut, di tengah perjalanan pulang ke rumah, saat saya membonceng kawan saya yang guru muda itu, ucapan itu dikisahkan. Mendadak saya tak percaya. Saya sampai mengulang-ulang pertanyaan yang sama pada kawan saya itu. Hanya meyakinkan diri sendiri, apakah ucapan itu benar keluar dari mulut beliau.
Rupanya, jawabannya masih sama. Kawan saya mengulang jawaban yang masih sama. Seketika, nalar saya seolah dijungkirbalikkan! Bagaimana tidak, orang yang saya pandang waras dengan segala kelengkapan perangkat kewarasannya itu kok bisa-bisanya mengatakan demikian. Apa mungkin karena saking warasnya? Apa mungkin karena sudah kapok menjadi orang waras? Apa mungkin.... ah! Persetan dengan segala kemungkinan.
Sesampai di rumah, di ruang tamu, di depan meja kerja, saya merenung. Apakah akal sehat sudah tidak ada lagi tempatnya di sini? Kalau memang demikian, beruntunglah Kang Kadir, sahabat imajiner saya yang gila itu. Ia memelihara kegilaannya dan enggan untuk disembuhkan. Mungkin saja karena ia telah mengalami fase hidup waras dan sekarang ia menjalani hidup yang edan. Lalu, ia memilih menyetiai keedanannya.
Dengan edannya, Kang Kadir bisa lebih bebas dari jerat pikiran waras dan segala lapis kepura-puraannya. Kang Kadir bisa lebih santai menghadapi hidup yang begini kerasnya. Ia tak menuntut harus menang melawan siapapun. Ia tak punya musuh. Bahkan, saat ditangkap Satpol PP pun ia masih bisa tersenyum dan tertawa lepas.
Tetapi, jangan salah. Dalam obrolan-obrolan ringan saya dengannya, kerap kali ia menyampaikan kritik dengan gaya nyelenehnya terhadap perilaku manusia waras. Katanya suatu ketika, "Jadi orang jangan bangga-bangga amat karena merasa waras. Siapa tahu, justru kewarasanmu itulah yang akan menjerumuskanmu ke dalam kegilaan yang tak disadari!"
Saya menduga, Kang Kadir jauh lebih waras ketimbang yang waras. Ah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H