Sesampai di rumah, di ruang tamu, di depan meja kerja, saya merenung. Apakah akal sehat sudah tidak ada lagi tempatnya di sini? Kalau memang demikian, beruntunglah Kang Kadir, sahabat imajiner saya yang gila itu. Ia memelihara kegilaannya dan enggan untuk disembuhkan. Mungkin saja karena ia telah mengalami fase hidup waras dan sekarang ia menjalani hidup yang edan. Lalu, ia memilih menyetiai keedanannya.
Dengan edannya, Kang Kadir bisa lebih bebas dari jerat pikiran waras dan segala lapis kepura-puraannya. Kang Kadir bisa lebih santai menghadapi hidup yang begini kerasnya. Ia tak menuntut harus menang melawan siapapun. Ia tak punya musuh. Bahkan, saat ditangkap Satpol PP pun ia masih bisa tersenyum dan tertawa lepas.
Tetapi, jangan salah. Dalam obrolan-obrolan ringan saya dengannya, kerap kali ia menyampaikan kritik dengan gaya nyelenehnya terhadap perilaku manusia waras. Katanya suatu ketika, "Jadi orang jangan bangga-bangga amat karena merasa waras. Siapa tahu, justru kewarasanmu itulah yang akan menjerumuskanmu ke dalam kegilaan yang tak disadari!"
Saya menduga, Kang Kadir jauh lebih waras ketimbang yang waras. Ah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H