Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mungkinkah Batik Menjadi Salah Satu Cabang Ilmu?

30 September 2021   02:03 Diperbarui: 1 Oktober 2021   01:16 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membatik | Photo by Rizky Rafael from Pexels

Saya memang bukan seorang pembatik. Saya hanya penikmat karya seni batik. Tentu, pandangan saya sangat berbeda dengan seorang pembatik ketika mengulas tentang batik. 

Sebagaimana ketika saya mengulas sebuah karya sastra, novel misalnya, tentu pandangan saya pun akan berbeda dengan penulis novelnya.

Tetapi, apakah seorang penulis novel perlu menyampaikan maksud dari kisah yang ditulisnya? Bisa iya, bisa tidak. Bergantung kemauan sang penulis novelnya dan kebutuhan audiennya. 

Namun, jika penulis novel itu mengungkapkan maksud yang ingin disampaikan dalam novel karyanya, untuk apa dia menulis novel.

Sebagaimana telaah atau kajian sastra, di dalamnya mengenal empat pendekatan, yaitu objektif, mimetik, pragmatik, dan ekspresif. 

Pendekatan objektif menelaah karya sastra hanya pada objek karyanya, tanpa memerhatikan siapa pengarangnya, hubungan karya sastra dengan fakta sosial dan budaya, maupun hal-hal lain di luar teks sastra. 

Jadi, pendekatan ini murni membedah teks. Terutama berkenaan dengan jalinan unsur-unsur yang ada di dalam teks itu sendiri.

Sedang pendekatan mimetik mengandaikan jika suatu karya sastra berkaitan dengan fakta sosial budaya yang menjadi asal kemunculan karya sastra. 

Maka, kajian ini akan mengetengahkan kaitan antara karya sastra dengan zaman, peristiwa tertentu, atau pula kehidupan yang berlaku di suatu masyarakat. Pendekatan ini memandang, bahwa teks sastra merupakan miniatur dunia atau semacam tiruan dunia.

Lain halnya dengan pendekatan pragmatik. Pendekatan ini lebih mengutamakan bagaimana respons audien atau pembaca sebuah karya sastra. Termasuk di dalamnya, pengaruh karya sastra terhadap cara pandang pembacanya.

Sementara pendekatan ekspresif dalam telaah sastra memberi ruang dialog yang terbuka dengan pengarangnya. Sebab, pendekatan ini ingin menyajikan kajian sastra yang menghubungkan karya sastra dengan pengarangnya. 

Bisa saja berkenaan dengan cara pandang pengarangnya, perilaku pengarangnya, atau juga kepribadian pengarangnya.

Saya tentu belum cukup tahu, bagaimana dalam kajian batik. Apakah juga menggunakan empat pendekatan itu atau memiliki pendekatan yang berbeda? Tetapi, jika saya boleh memberi semacam usulan, pendekatan-pendekatan dalam kajian sastra mungkin saja bisa menjadi bahan pertimbangan. 

Sebab, dalam kajian folklor, sebagaimana diajukan Dananjaya, busana---baik bentuk, motif, aksesoris, maupun pemakaiannya---merupakan bagian dari folklor. Sementara yang berkenaan dengan teknik pembuatan sebuah barang kerajinan dikelompokkan ke dalam folkart.

Apa itu folklor? Oleh sebagian orang, folklor diterjemahkan dengan amat sederhana sebagai tradisi lisan. Tentu, penyederhanaan ini masih menyisakan banyak masalah. 

Sebab, ruang lingkup folklor ternyata cukup luas. Termasuk di dalamnya arsitektur tradisional, jenis-jenis sastra lisan, seni pertunjukan tradisional/rakyat, dan lain-lain.

Lalu, apa itu folkart? Istilah folkart berlaku bagi semua jenis seni tradisi yang dibuat dengan cara-cara yang tradisional pula dan produk dari seni itu digunakan tidak sebatas sebagai dekorasi. Akan tetapi, mencakup pula kegunaan praktis dan simbolis.

Mendasarkan pada pendekatan bahwa Batik sebagai folklor sekaligus folkart, maka batik merupakan sebuah ingatan kolektif yang dimiliki masyarakat. 

Belajar proses membatik di studio Tamakun Art (Sumber foto: dokumentasi  pribadi/Tamakun Art)
Belajar proses membatik di studio Tamakun Art (Sumber foto: dokumentasi  pribadi/Tamakun Art)

Ia tidak hanya sebagai barang seni atau kerajinan, melainkan pula menjadi bagian dari tata nilai dari suatu masyarakat. Ia membaur menjadi bagian dari kebudayaan.

Tentu, membaca Batik tidak sekadar membaca sebagai benda seni. Akan tetapi, banyak lapis-lapis makna yang sangat mungkin menjadi multitafsir, sesuai dengan pendekatan yang digunakan. 

Jika kita gunakan pendekatan objektif, maka selembar kain batik ini akan dikaji berdasarkan unsur-unsur yang turut membangun motif itu, dengan memperhatikan detil pada motif.

Sementara jika kita gunakan pendekatan mimetik, maka kajian terhadap sebuah kain batik bermotif tertentu akan dikaitkan dengan unsur-unsur di luar motif itu. 

Misal, motif kawung kolang-kaling, akan dikaji kaitan antara bentuk gambar yang tersaji pada lembaran kain batik itu dengan kolang-kaling maupun dengan cara pandang orang Jawa tentang kolang-kaling.

Begitu pula dengan pendekatan pragmatik maupun ekspresif. Dengan pendekatan pragmatik akan didapat kajian sebuah motif yang berkaitpaut dengan respons pemakainya atau kesan yang ditimbulkan dari motif itu. 

Dengan pendekatan ekspresif, akan dikaji pula bagaimana awal mula seorang pembatik itu mendapatkan inspirasi untuk membuat motif tertentu dan tujuan ia membuatnya.

Pendekatan-pendekatan itu baru menjadi sebuah gambaran awal. Sebab, di dalam kajian yang lebih dalam, akan diurai pula sebuah kain batik dikaji dengan menggunakan teori-teori yang jumlahnya juga sudah sangat banyak itu. Teori-teori yang digunakan pun mesti bersesuaian dengan pendekatannya.

Dengan demikian, sangat wajar jika di dalam kajian batik tampak parsial. Sebab, tidak bisa sebuah kajian menyuguhkan secara utuh dari semua aspek. 

Keutuhan itu baru akan dicapai jika satu motif batik banyak dikaji. Tentu, pendekatan dan teori yang digunakan dalam kajian pun harus bervariasi.

Namun, untuk menjadi utuh tentu tak mudah. Sebab, selalu ada jarak antara kajian dengan laku batik. Seorang pelaku batik sudah pasti kaya akan pengalaman. 

Seorang pengkaji belum tentu memiliki cukup pengalaman sebagaimana para pelaku batik. Tetapi, kedua pihak sebenarnya saling melengkapi. Perbedaan cara pandang keduanya bukan lantas untuk dipertentangkan, apalagi untuk saling memaksakan diri.

Apa yang saya kemukakan pun sebenarnya masih jauh dari kata 'lengkap'. Sebab, dalam kajian seni maupun sastra, masih terdapat ruang yang lebih luas lagi. 

Seperti kajian estetika, kajian eklektik, kajian edukasi, dan sebagainya. Tetapi, yang barangkali perlu dirumuskan saat ini adalah bagaimana menemukan filsafat batik yang selanjutnya dapat diurai dalam sudut pandang epistemologi, aksiologi, dan ontologi. 

Ketiga elemen filsafat inilah yang kemudian dapat memberikan jalan bagi pengembangan batik sebagai cabang ilmu.

Memang, diakui atau tidak, sebagai bangsa timur, tentu rasanya kesel juga jika harus selalu manut dengan pandangan barat tentang ilmu. Tetapi apa daya kita saat ini, dunia keilmuan memang sedang dalam genggaman mereka. Segala bentuk kebijaksanaan timur masih perlu berjuang keras untuk mendapatkan tempat duduk yang sejajar.

Pandangan-pandangan Kaum Oksidentalis yang mencoba membongkar terminologi keilmuan barat belum sepenuhnya diterima. Meski mereka mampu membuktikan bahwa pandangan barat, baik yang dikemukakan oleh pemikiran barat tulen maupun yang abu-abu semacam Orientalis, banyak yang keliru, nyatanya pandangan Kaum Oksidentalis ini masih saja kalah suara. 

Bahkan, sebagian ilmuwan timur pun ada yang ikut meragukan atau bahkan mencibirnya.

Walhasil, kita mungkin masih harus memerjuangkan batik---khususnya Batik Pesisir Pekalongan---tidak lagi sekadar sebagai ingatan kolektif atau local wisdom atau local genius, melainkan sebagai ilmu itu sendiri. 

Perjuangan ini saya rasa sangat perlu untuk dilakukan untuk mendukung upaya pelestarian dan pengembangan batik di kemudian hari.

Dalam terminologi keilmuan, istilah pelestarian tidak cukup dengan upaya penyimpanan dan pemeliharaan artefak. Akan tetapi juga mesti memunculkan kajian-kajian yang komprehensif.

Demikian pula dengan pengembangan yang tidak cukup hanya dengan memproduksi sebanyak-banyak mungkin kain batik. Akan tetapi, di dalam usaha produktivitas dan kreativitas itu perlu pula didampingi oleh ilmu pengetahuan yang cukup.

Dengan begitu, nilai dari produk itu akan terangkat dan harapannya dengan cara itu pula dunia akan memandang batik tidak sekadar barang antik, melainkan pula sebagai sebuah literasi yang kaya akan informasi, pengetahuan, dan ilmu. 

Syukur jika mereka pada akhirnya mengakui keunggulan ilmu-ilmu timur yang sebenarnya telah banyak mereka curi dan direproduksi.

Namun, sebelum meruntuhkan bangunan keilmuan barat yang kadung kokoh itu, ada pula upaya yang tak kalah penting untuk dilakukan. Yaitu, menjebol dinding kebekuan ilmu pengetahuan kita yang masih terlampau kebarat-baratan.

Tidak salah memang. Akan tetapi, sikap skeptis sebagian dari kita tentang ilmu timur yang perlu kita benahi. Pandangan skeptis itu bahkan sampai meminggirkan ilmu-ilmu timur dari kamus peradaban. 

Inilah yang perlu diluruskan. Dan saya pikir, sudah waktunya semua pihak duduk sama rendah, sama-sama memikirkan cara yang tepat untuk menemukan formula keilmuan untuk batik.

Baca juga:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun