Jika kita gunakan pendekatan objektif, maka selembar kain batik ini akan dikaji berdasarkan unsur-unsur yang turut membangun motif itu, dengan memperhatikan detil pada motif.
Sementara jika kita gunakan pendekatan mimetik, maka kajian terhadap sebuah kain batik bermotif tertentu akan dikaitkan dengan unsur-unsur di luar motif itu.Â
Misal, motif kawung kolang-kaling, akan dikaji kaitan antara bentuk gambar yang tersaji pada lembaran kain batik itu dengan kolang-kaling maupun dengan cara pandang orang Jawa tentang kolang-kaling.
Begitu pula dengan pendekatan pragmatik maupun ekspresif. Dengan pendekatan pragmatik akan didapat kajian sebuah motif yang berkaitpaut dengan respons pemakainya atau kesan yang ditimbulkan dari motif itu.Â
Dengan pendekatan ekspresif, akan dikaji pula bagaimana awal mula seorang pembatik itu mendapatkan inspirasi untuk membuat motif tertentu dan tujuan ia membuatnya.
Pendekatan-pendekatan itu baru menjadi sebuah gambaran awal. Sebab, di dalam kajian yang lebih dalam, akan diurai pula sebuah kain batik dikaji dengan menggunakan teori-teori yang jumlahnya juga sudah sangat banyak itu. Teori-teori yang digunakan pun mesti bersesuaian dengan pendekatannya.
Dengan demikian, sangat wajar jika di dalam kajian batik tampak parsial. Sebab, tidak bisa sebuah kajian menyuguhkan secara utuh dari semua aspek.Â
Keutuhan itu baru akan dicapai jika satu motif batik banyak dikaji. Tentu, pendekatan dan teori yang digunakan dalam kajian pun harus bervariasi.
Namun, untuk menjadi utuh tentu tak mudah. Sebab, selalu ada jarak antara kajian dengan laku batik. Seorang pelaku batik sudah pasti kaya akan pengalaman.Â
Seorang pengkaji belum tentu memiliki cukup pengalaman sebagaimana para pelaku batik. Tetapi, kedua pihak sebenarnya saling melengkapi. Perbedaan cara pandang keduanya bukan lantas untuk dipertentangkan, apalagi untuk saling memaksakan diri.
Apa yang saya kemukakan pun sebenarnya masih jauh dari kata 'lengkap'. Sebab, dalam kajian seni maupun sastra, masih terdapat ruang yang lebih luas lagi.Â