Sementara pendekatan ekspresif dalam telaah sastra memberi ruang dialog yang terbuka dengan pengarangnya. Sebab, pendekatan ini ingin menyajikan kajian sastra yang menghubungkan karya sastra dengan pengarangnya.Â
Bisa saja berkenaan dengan cara pandang pengarangnya, perilaku pengarangnya, atau juga kepribadian pengarangnya.
Saya tentu belum cukup tahu, bagaimana dalam kajian batik. Apakah juga menggunakan empat pendekatan itu atau memiliki pendekatan yang berbeda? Tetapi, jika saya boleh memberi semacam usulan, pendekatan-pendekatan dalam kajian sastra mungkin saja bisa menjadi bahan pertimbangan.Â
Sebab, dalam kajian folklor, sebagaimana diajukan Dananjaya, busana---baik bentuk, motif, aksesoris, maupun pemakaiannya---merupakan bagian dari folklor. Sementara yang berkenaan dengan teknik pembuatan sebuah barang kerajinan dikelompokkan ke dalam folkart.
Apa itu folklor? Oleh sebagian orang, folklor diterjemahkan dengan amat sederhana sebagai tradisi lisan. Tentu, penyederhanaan ini masih menyisakan banyak masalah.Â
Sebab, ruang lingkup folklor ternyata cukup luas. Termasuk di dalamnya arsitektur tradisional, jenis-jenis sastra lisan, seni pertunjukan tradisional/rakyat, dan lain-lain.
Lalu, apa itu folkart? Istilah folkart berlaku bagi semua jenis seni tradisi yang dibuat dengan cara-cara yang tradisional pula dan produk dari seni itu digunakan tidak sebatas sebagai dekorasi. Akan tetapi, mencakup pula kegunaan praktis dan simbolis.
Mendasarkan pada pendekatan bahwa Batik sebagai folklor sekaligus folkart, maka batik merupakan sebuah ingatan kolektif yang dimiliki masyarakat.Â
Ia tidak hanya sebagai barang seni atau kerajinan, melainkan pula menjadi bagian dari tata nilai dari suatu masyarakat. Ia membaur menjadi bagian dari kebudayaan.
Tentu, membaca Batik tidak sekadar membaca sebagai benda seni. Akan tetapi, banyak lapis-lapis makna yang sangat mungkin menjadi multitafsir, sesuai dengan pendekatan yang digunakan.Â