Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Egalitarianisme dalam Batik Pesisir Pekalongan

28 September 2021   03:13 Diperbarui: 30 September 2021   02:50 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Walikota Pekalongan (H. Ahmad Afzan Arslan Djunaid) tengah nyolet/mewarnai batik dengan colet (sumber foto: siapkawal.pekalongankota.go.id) 

Ya, rakyat negeri batik rupanya rakyat yang luar biasa. Mereka tak harus mengerti dan memahami apalagi sampai mempelajari konsep teori dekonstruksi nilai, tetapi mereka telah melampauinya. 

Jika dekonstruksi---sebagaimana dianjurkan filsuf Perancis, Derrida---menghendaki pembongkaran tanpa memberi kepastian dan kejelasan, maka rakyat negeri batik telah tuntas pada jawaban-jawaban yang konkret. Menjadi laku kehidupan sehari-hari.

Tidak mengherankan jika motif dan corak batik mereka pun cenderung tidak taat pada pakem yang telah dikukuhkan oleh tradisi batik pedalaman (batik Keraton). 

Begitu pula pada pewarnaan batik mereka. Ya, ketidaksetiaan pada bentuk inilah yang pada akhirnya membuahkan geliat berkarya. 

Mereka begitu kreatif, sampai-sampai selalu muncul pembaruan-pembaruan di dalam membikin motif, corak, komposisi warna, maupun teknik pembuatan batiknya. Juga media yang digunakan untuk membatik. Bahkan, mereka pun bisa mengolah sedemikian rupa tujuan membikin batik.

Fenomena ini menandai bahwa kesetiaan rakyat negeri batik bukan terletak pada bentuk atau pula pada kemapanan. Tetapi, kesetiaan yang esensial. Secara tidak langsung, hal ini menandai pula bahwa rakyat negeri batik telah melampaui nilai-nilai materi. 

Batik yang dikembangkan rakyat negeri batik tidak lagi berorientasi pada upaya menciptakan atau memproduksi benda budaya. Tetapi, dikembangkan dan diinterpetasikan pula ke dalam aspek kehidupan sehari-hari.

Jika demikian, batik di negeri batik tiada lain adalah simbol dari peradaban manusia yang egaliter. Batik tidak lagi disakralkan. Tidak lagi dikelas-kelaskan menjadi ningrat atau rakyat. 

Tetapi, diperluas spektrumnya, sehingga mampu diejawantahkan sebagai bagian dari denyut hidup rakyat negeri batik. Begitulah, batik negeri batik, batik yang egaliter.

Baca juga:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun