Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Egalitarianisme dalam Batik Pesisir Pekalongan

28 September 2021   03:13 Diperbarui: 30 September 2021   02:50 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Walikota Pekalongan (H. Ahmad Afzan Arslan Djunaid) tengah nyolet/mewarnai batik dengan colet (sumber foto: siapkawal.pekalongankota.go.id) 

Tetapi, tidak demikian dengan rakyat negeri batik. Mereka tidak terlalu mau ambil pusing dengan kesantunan yang basa-basi. Kesantunan bagi rakyat negeri batik adalah ketika tidak ada lagi basa-basi yang berlebihan. Soal diterima atau tidak sikap dan perilakunya, itu urusan belakangan.

Jadi, sangat wajar jika ungkapan-ungkapan yang digunakan rakyat negeri batik ini cenderung terbuka. Bahkan bahasa mereka pun tidak mengenal tingkatan bahasa (unda usuk) sebagaimana yang berlaku pada tradisi Keraton Jawa.

Kalaupun kemudian ada sedikit bahasa Jawa krama yang mereka gunakan, itupun sekadarnya. Seperlunya saja. Bergantung siapa yang sedang dihadapi dan keperluannya. Itupun kadang hanya berlangsung sebentar. Biasanya hanya pada bagian awal.

Walikota Pekalongan (H. Ahmad Afzan Arslan Djunaid) tengah nyolet/mewarnai batik dengan colet (sumber foto: siapkawal.pekalongankota.go.id) 
Walikota Pekalongan (H. Ahmad Afzan Arslan Djunaid) tengah nyolet/mewarnai batik dengan colet (sumber foto: siapkawal.pekalongankota.go.id) 

Selanjutnya, ketika sudah memasuki perbincangan yang panjang, kembali pada bahasa Jawa ngoko. Karena bagi rakyat negeri batik, penggunaan bahasa Jawa krama membikin segalanya menjadi kaku. Tidak luwes dan tidak akrab. 

Begitulah kira-kira rasa bahasa rakyat negeri batik. Begitu terbuka, tanpa kenal kelas, juga tanpa basa-basi.

Kendati demikian, ada yang unik dari cara mereka menyapa orang. Kerap saya dengar sapaan "Ji" (singkatan dari Kaji). Biasanya, sapaan ini diberikan kepada orang yang sudah menunaikan ibadah haji. 

Tetapi, di dalam pergaulan sehari-hari, sapaan ini bisa saja diberikan kepada orang yang tampak berkelas, yang berpenampilan agak perlente dan baru dikenal, mungkin juga diberikan kepada orang yang entah kebetulan atau sengaja memakai peci. Padahal, belum tentu yang disapa "Ji" itu sudah haji.

Bagi yang disapa demikian pun tak harus menjadi berat hati, karena sapaan ini tidak bermaksud menyindir atau menghina. Sebaliknya, bisa jadi sapaan "Ji" itu merupakan doa bagi yang disapa "Ji" (terutama yang belum menunaikan ibadah haji), agar bisa segera berangkat ke tanah suci.

Tetapi, bisa saja sapaan "Ji" itu bermakna lain. Terutama berkaitan dengan kelas sosial. Ya, titel haji yang dilekatkan pada nama seseorang seolah-olah telah menjadi simbol kelas atau status sosial tersendiri. Ia juga merujuk pada tingkat kesuksesan seseorang. 

Lantas, apakah itu salah? Saya kira tak perlu buru-buru menghakimi salah atau benar pada persoalan tersebut. Ada hal lain yang patut digali lebih dalam, yaitu kaitannya dengan memaknai sapaan "Ji" tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun