Lalu, saya menggeser posisi duduk. Saya ambil sebuah kursi lipat di depan, kemudian menggesernya tepat di hadapan meja kerjanya. Ya, saya bersemangat. Sangat bersemangat.
“Oke, sekarang katakan, apa kata-kata Pak Jujur padamu?” tanya saya.
“Intinya, menulis naskah skenario film itu butuh kesadaran visual. Sebuah film memiliki kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan film ada pada visualisasi narasi yang bisa menimbulkan kesan dan makna tertentu pada penontonnya. Jadi, tak perlu kata-kata panjang untuk menjelaskan sebuah maksud. Juga kadang akan lebih baik jika menghindari kata-kata yang terlalu menguras pikiran. Karena film itu terbatasi oleh durasi. Lakuan aktor dalam film berjalan dan bergulir tidak bisa diulang. Maka, kuncinya adalah bagaimana seorang penulis skenario mampu membuat kata yang makjleb. Langsung nyantol dalam memori penontonnya, Kang,” jelasnya.
Atas penjelasan itu, aku pun menukas, “Tepat sekali! Mungkin untuk bisa membuat terang penjelasan itu, perlu juga kita menengok film-film layar lebar yang diproduksi pada era-era lalu, ketika film Indonesia berada di puncak kejayaannya. Contoh saja, film Tjut Njak Dhien, November 1828, atau film-film baru. Lalu, kita bolehlah membandingkannya dengan sinema elektronik alias sinetron yang tayang di televisi-televisi kita saat ini. Tampak sekali keduanya berbeda. Sangat berbeda. Memang, tidak bisa dipungkiri ada juga sinetron dengan kekuatan bahasa komunikasi yang oke, sebut saja misal Preman Pensiun, Bajaj Bajuri, dan lain-lain. Tetapi, sinetron dengan pengemasan kekuatan bahasa yang demikian tak banyak. Lalu, apa komentar beliau soal ini?”
“Aduh, kalau soal itu belum sempat aku tanyakan, Kang. Mungkin lain waktu. Tapi, yang jelas, membuat naskah skenario itu diawali kepekaan kita terhadap kehidupan kita sehari-hari. Tentu, menulis cerpen dengan menulis naskah skenario film itu beda. Dan itu sebenarnya berkaitan dengan teknik penulisan. Kesadaran akan pentingnya menggunakan bahasa sebagai sarana atau alat itu juga harus disesuaikan dengan kebutuhan pada tiap-tiap bidang yang berbeda. Tidak bisa kita gebyah uyah menerapkan penggunaan bahasa itu seragam dalam menulis cerpen dengan naskah skenario, Kang,” tuturnya panjang.
“Dan itu pula kelemahan kita. Diakui atau tidak, ketika kita dulu produksi bikin film, kita cenderung terlena oleh keinginan untuk menyampaikan konsep ideal tentang kehidupan. Maka, dialog-dialog rumit dan panjang pun muncul. Akhirnya, kata-kata yang kita tulis tak membekas pada penonton. Kita terlalu memaksa agar orang mengerti mau kita, sementara kita lupa pada kebutuhan mereka. Di sinilah sebenarnya kita butuh pendalaman mengenai ilmu komunikasi, Din,” kataku.
“Iya sih. Makanya, diam-diam, sebenarnya aku sekarang mulai memaksa diriku untuk latihan menulis. Aku meniru caramu, Kang. Menulis apa saja yang bisa aku tulis. Tak peduli itu peristiwa penting atau tidak. Yang penting tulis saja dulu. Tapi, untuk mempostingnya, aku masih belum cukup punya kenekatan sepertimu. Kamu nekad dan terlalu nekad. Kamu itu lebih sinting dari yang sinting, Kang,” kelakarnya.
Kami pun tertawa. Tetapi, beruntung tak ada orang di ruang yang amat luas itu. Hanya kami berdua. Sementara meja-meja yang lain, berjajar membisu menatap kami dengan kebisuan. Ah, sudah sore. Kami pun berkemas. Segera berangkat pulang ke rumah masing-masing. Esok lusa masih ada pembicaraan lain yang pastinya seru. Ya, saya banyak belajar dari adik perempuanku yang satu ini, yang sekarang sudah menyandang gelar Doktor Ilmu Sastra.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H