Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang Mbah Royom Sukarman, Seniman Kethoprak Pekalongan

25 September 2021   01:11 Diperbarui: 25 September 2021   11:23 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbah Royom Sukarman, dok.pribadi.

Suatu siang, setelah beberapa hari mentas kethoprak bareng, Mbah Royom menghubungi saya. Lewat pesan singkat via Whatsapp, beliau menyampaikan jika pintu rumahnya sudah sangat merindukan kehadiran saya. Tawaran itu langsung saya sambut dengan senang hati. Tak menunggu lama, saya segera sempatkan diri untuk bertamu di kediaman beliau.

Ditemani seorang santri, Mas Lana, saya memasuki sebuah kampung yang padat. Rumah-rumah warga rata-rata berukuran kecil. Nyaris tak ada halaman, hanya ada teras rumah. Itu pun tak seberapa luas. Dinding depan rumah penduduk kampung itu rata-rata langsung berbatasan dengan tepian jalan kampung yang tampak baru saja dibeton dan ditinggikan. Maklum, kampung itu juga sudah menjadi langganan rob. Bahkan, alas rumah-rumah warga tampak pula beberapa sudah mulai ditinggikan, sehingga rumah mereka tampak tak terlalu tinggi.

Kampung itu tak jauh dari tempat saya berkantor. Tepatnya, di kawasan belakang kampus Universitas Pekalongan yang megah. Ya, di balik kampus yang memiliki gedung-gedung menjulang ke angkasa itu, ternyata ada kampung yang kondisinya---menurut saya---cukup memrihatinkan. Dan, di situlah Mbah Royom tinggal bersama keluarganya. Di sebuah rumah yang kecil ukurannya---luasnya juga tak seberapa, Mbah Royom tinggal.

Tiba di rumah itu, Mbah Royom menyambut saya dengan sangat ramah. Tidak hanya itu, beliau sangat menghormati tamunya. Ah, saya malah merasa malu sendiri dan tak enak hati. Apalagi, usia beliau yang terpaut jauh dari usia saya. Beliau sudah sepuh. Tetapi, soal etika, beliau jauh lebih baik dari saya. Padahal, beliau tak memiliki riwayat pendidikan yang setinggi langit, dengan ijazah yang bertumpuk-tumpuk. Sementara saya, kadang masih membanggakan ijazah saya.

Di halaman rumah yang berbatasan langsung dengan jalan kampung, beliau membungkukkan badannya di hadapan saya. Itu sebagai sikap hormat beliau kepada tamu. Meski saya meminta agar beliau tidak melakukan itu berkali-kali, tetap saja beliau melakukannya. Beliau selalu saja punya alasan untuk melakukan itu. Beliau singgung soal pekerjaan saya, kesarjanaan saya, dan banyak hal lainnya yang dijadikan alasan mengapa beliau merasa pantas untuk melakukan itu di hadapan saya.

Ah, rasanya saya semakin malu. Saya merasa lebih buruk dari beliau. Tapi, perasaan saya itu sepertinya sia-sia saja untuk saat itu. Sebab, tidak akan mengubah keadaan apapun. Beliau tetap saja begitu di hadapan saya. Akhirnya, saya terpaksa harus menerima perlakuan itu.

Tak lama, saya dituntun beliau memasuki ruang tamu. Tak terlalu besar ukurannya. Bahkan lebih kecil dari ruang tamu rumah saya. Untuk sekadar selonjor saja susah. Mungkin, hanya 2,5 x 2 meter luas ruangan itu. Tetapi, agak tertolong karena langsung terhubung dengan ruang tengah, meskipun luasnya juga tak seberapa. Mungkin sekitar 3 x 3 meter. Bisa dibayangkan, betapa kehidupan Mbah Royom ini begitu sangat sederhana.

Sesiang hingga sore itu, di ruang tamu, kami banyak ngobrol soal kesenian, khususnya seni tradisi Jawa. Saya lebih banyak mendengarkan tuturan beliau, sebab memang saya tidak begitu menguasai kesenian tradisional. 

Maklum, saya lahir dari sebuah keluarga yang tak cukup mengerti soal kesenian. Juga tak cukup paham dan fasih mengenai kebudayaan Jawa. Meskipun, saya lahir dan hidup di tengah-tengah masyarakat Jawa, yang juga dikenal sebagai orang Jawa. Tetapi, kehidupan kami tak cukup memiliki waktu untuk mempelajari budaya Jawa secara penuh. 

Kehidupan masyarakat pesisir yang dinamis telah membangun sebuah sikap dan cara pandang yang sungguh sangat berbeda dari cara pandang orang Jawa, seperti yang dikemukakan Mbah Royom. Juga soal penguasaan bahasa Jawa saya, tidaklah lebih baik dari Mbah Royom. Amat jauh. Bagaikan langit dan bumi. Jika Mbah Royom begitu fasih berbahasa Jawa dan menguasai kesusastraan Jawa, saya sama sekali tidak tahu apa-apa. Dan di hadapan beliau, saya memang masih harus banyak belajar soal itu semua.

Beliau tak sungkan-sungkan mengajari saya. Tentang sastra Jawa, tentang tembang, tentang falsafah hidup orang Jawa, tentang makna-makna simbolik dalam dunia kesenian Jawa, dan semuanya. Ya, saya benar-benar merasa bodoh. Merasa kosong di hadapan beliau.

Beliau menuturkan, bahwa lewat kesenian, khususnya kethoprak, banyak hal yang bisa dipetik sebagai pelajaran. Lewat kethoprak, orang bisa belajar sejarah, politik, ekonomi, ilmu alam, ilmu kemiliteran, moral, etika, dan banyak hal. Bahkan, lewat kethoprak pula beliau bisa sangat jeli memberikan analisis yang tajam mengenai fenomena sosial dan politik dari masa ke masa. Ya, kethoprak bagi beliau adalah lembaga pendidikan yang kompleks. Lengkap.

Tidak ada buku yang harus dibaca memang, tetapi dari kethoprak, beliau bisa mengenali mana yang semestinya dan mana yang mesti ditinggalkan, membaca perubahan zaman, membaca perilaku manusia, dan membaca tanda-tanda alam. Bukan karena daya mistiknya, melainkan pengetahuan yang diberikan oleh kesenian ini bagi pelaku-pelakunya.

Beliau juga ajarkan kepada saya tentang perilaku dan tata krama orang Jawa. Ini pelajaran yang amat mahal harganya. Bahkan, apabila dijadikan sebagai mata kuliah di perguruan tinggi, saya kira biaya sks-nya bisa saja tak cukup hanya dengan recehan ratusan ribu. 

Sebab, pada umumnya, pengajaran mata kuliah di perguruan tinggi semata-mata berupa pengenalan-pengenalan. Sekadar memenuhi kebutuhan agar para calon sarjana itu mengetahui. 

Soal kedalaman makna dan bagaimana perubahan perilaku, tak cukup menjadi soal. Yang penting, IPK tinggi, pintar, bisa mainan gadget, dan bisa diterima bekerja di perusahaan atau lembaga yang bonafit. Sehingga, kalau kemana-mana bisa memakai setelan jas dan sepatu mengkilap. Tampak mentereng!

Ah! Di hadapan beliau, rasanya saya benar-benar tertampar, meski hanya dengan sentuhan yang sangat halus. Saya tertonjok meski hanya dengan senyuman beliau yang menenteramkan. 

Saya terpukul mundur, meski hanya dengan tatapan beliau yang teduh. Saya merasa gagal menjadi manusia. Saya merasa gagal menjadi orang Jawa. Bahkan, saya sama sekali tak bisa melakukan apa-apa. 

Segala atribut yang dilekatkan pada diri saya serasa dilucuti semua. Rontoklah segala yang awalnya saya pandang sebagai kecemerlangan pikiran. Robohlah segala yang dulu saya anggap sebagai sesuatu yang prestise.

Tidak. Tidak ada yang benar-benar cemerlang dalam pikiran saya. Tidak ada yang benar-benar patut menjadi kebanggaan pada dir saya. Saya hanya bersembunyi di balik segala yang palsu. Pekerjaan, kedudukan, kepandaian, gelar sarjana, dan semuanya roboh di hadapan beliau tanpa satu pun pukulan beliau tinjukan kepada saya.

Ya, beliau adalah pribadi yang ramah. Juga seorang bapak yang mengayomi keluarga sekalipun hidup dalam keterbatasan. Bahkan, di dalam keterbatasannya itu, beliau masih mau menjadi orang tua asuh bagi dua anak kembar yang masih belia. Sungguh, beliau orang yang baik hati.

Dari beliau, saya banyak belajar mengenai sosok pemimpin yang ideal. Sosok pemimpin sejati. Dan di hari Rabu pagi, 19 Desember 2018, Gusti Allah memanggil beliau untuk kembali. Saya sangat merasa kehilangan beliau. Sangat kehilangan.

Sewaktu melayat, mengantarkan jenazah beliau ke tempat peristirahatan terakhir, sebenarnya saya sungguh berharap, Walikota Pekalongan hadir menjadi saksi atas peristiwa kehilangan itu. Apalagi beberapa hari sebelumnya, tepatnya tanggal 17 Desember 2018, Mbah Royom sempat satu panggung dengan Walikota, main kethoprak. Tetapi, mungkin beliau ada acara lain yang lebih dipentingkan.

Beliau memang bukan siapa-siapa. Sebab, tak banyak orang mengenal beliau. Tetapi, bagi saya, beliau adalah tokoh yang sebenarnya. Dedikasinya amat tinggi dan mulia. 

Selamat jalan, Mbah Royom. Selamat kembali pulang ke haribaan. Semoga Gusti Allah mengampuni segala kesalahan beliau, mengampuni dosa-dosa beliau, dan menerima dengan terbuka segala kebaikan yang pernah beliau torehkan bagi kehidupan. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun