Beliau menuturkan, bahwa lewat kesenian, khususnya kethoprak, banyak hal yang bisa dipetik sebagai pelajaran. Lewat kethoprak, orang bisa belajar sejarah, politik, ekonomi, ilmu alam, ilmu kemiliteran, moral, etika, dan banyak hal. Bahkan, lewat kethoprak pula beliau bisa sangat jeli memberikan analisis yang tajam mengenai fenomena sosial dan politik dari masa ke masa. Ya, kethoprak bagi beliau adalah lembaga pendidikan yang kompleks. Lengkap.
Tidak ada buku yang harus dibaca memang, tetapi dari kethoprak, beliau bisa mengenali mana yang semestinya dan mana yang mesti ditinggalkan, membaca perubahan zaman, membaca perilaku manusia, dan membaca tanda-tanda alam. Bukan karena daya mistiknya, melainkan pengetahuan yang diberikan oleh kesenian ini bagi pelaku-pelakunya.
Beliau juga ajarkan kepada saya tentang perilaku dan tata krama orang Jawa. Ini pelajaran yang amat mahal harganya. Bahkan, apabila dijadikan sebagai mata kuliah di perguruan tinggi, saya kira biaya sks-nya bisa saja tak cukup hanya dengan recehan ratusan ribu.Â
Sebab, pada umumnya, pengajaran mata kuliah di perguruan tinggi semata-mata berupa pengenalan-pengenalan. Sekadar memenuhi kebutuhan agar para calon sarjana itu mengetahui.Â
Soal kedalaman makna dan bagaimana perubahan perilaku, tak cukup menjadi soal. Yang penting, IPK tinggi, pintar, bisa mainan gadget, dan bisa diterima bekerja di perusahaan atau lembaga yang bonafit. Sehingga, kalau kemana-mana bisa memakai setelan jas dan sepatu mengkilap. Tampak mentereng!
Ah! Di hadapan beliau, rasanya saya benar-benar tertampar, meski hanya dengan sentuhan yang sangat halus. Saya tertonjok meski hanya dengan senyuman beliau yang menenteramkan.Â
Saya terpukul mundur, meski hanya dengan tatapan beliau yang teduh. Saya merasa gagal menjadi manusia. Saya merasa gagal menjadi orang Jawa. Bahkan, saya sama sekali tak bisa melakukan apa-apa.Â
Segala atribut yang dilekatkan pada diri saya serasa dilucuti semua. Rontoklah segala yang awalnya saya pandang sebagai kecemerlangan pikiran. Robohlah segala yang dulu saya anggap sebagai sesuatu yang prestise.
Tidak. Tidak ada yang benar-benar cemerlang dalam pikiran saya. Tidak ada yang benar-benar patut menjadi kebanggaan pada dir saya. Saya hanya bersembunyi di balik segala yang palsu. Pekerjaan, kedudukan, kepandaian, gelar sarjana, dan semuanya roboh di hadapan beliau tanpa satu pun pukulan beliau tinjukan kepada saya.
Ya, beliau adalah pribadi yang ramah. Juga seorang bapak yang mengayomi keluarga sekalipun hidup dalam keterbatasan. Bahkan, di dalam keterbatasannya itu, beliau masih mau menjadi orang tua asuh bagi dua anak kembar yang masih belia. Sungguh, beliau orang yang baik hati.
Dari beliau, saya banyak belajar mengenai sosok pemimpin yang ideal. Sosok pemimpin sejati. Dan di hari Rabu pagi, 19 Desember 2018, Gusti Allah memanggil beliau untuk kembali. Saya sangat merasa kehilangan beliau. Sangat kehilangan.