Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Haruskah Menulis Itu di Tempat Sepi?

24 September 2021   04:20 Diperbarui: 24 September 2021   14:16 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Menulis di Tempat yang Sepi | Sumber: pexels.com/Dziana Hasanbekava

Kenyamanan, barangkali hanya soal selera. Tiap orang boleh saja berbeda mengenai cara atau tempat yang nyaman untuk melakukan segala hal. Termasuk, urusan tulis-menulis.

Teman saya yang suka menulis pernah bilang, ia baru bisa benar-benar menulis kalau di tempat yang sepi. Makanya, ia akan mencari tempat yang jauh dari rumah, yang benar-benar sepi. 

Biasanya, ia akan pergi ke suatu desa yang jauh dari kebisingan kota. Ia bisa saja berhari-hari menginap di desa itu.

Lalu, apakah cara itu salah? Tidak juga. Orang punya gayanya sendiri-sendiri. Tidak bisa dipaksa harus sama. 

Malahan dengan gaya yang berbeda-beda itu semakin banyak pula warna yang digoreskan dalam mengisahkan kebiasaan menulis. 

Makin banyak ragam gaya, makin banyak pula pilihan yang bisa dipelajari oleh siapapun yang sedang belajar menulis. Termasuk saya.

Pengalaman teman saya yang penulis itu pernah pula saya coba. Memang, begitu menyenangkan. Ketika saya menemukan tempat untuk nyepi, agar bisa berkonsentrasi penuh pada tulisan saya, rasa-rasanya itu sebuah pengalaman yang sangat berkesan.

Selain saya bisa mencurahkan perhatian sepenuhnya pada tulisan yang saya bikin, hati dan pikiran saya terasa damai dan tenteram. Apalagi ketika saya menemukan tempat yang blank signal. Rasanya saya seperti menemukan harta karun yang terpendam ribuan tahun.

Cara lain yang pernah saya jalani adalah dengan 'menciptakan' ketenangan. Saya menulis di rumah---kebetulan rumah saya berada di sebuah perkampungan yang padat dan bising---tetapi saya meminta semua orang yang ada di rumah agar tidak mengeluarkan suara apapun. Jika perlu, kentut pun tak boleh bersuara.

Hasilnya, lumayan juga. Saya bisa berkonsentrasi menulis. Tentang apa saja.

Di lain waktu, saya bereksperimen. Saya menulis di alun-alun kota yang bisingnya tak ketulungan. Suara musik dangdut koplo yang dilantangkan dengan pengeras suara, bunyi-bunyian mangkuk keramik bergambar ayam jago yang dipukul sendok, suara tawa orang-orang yang berkerumun, raungan sirine dari odong-odong, deru mesin-mesin kendaraan yang lalu lalang di jalan, semuanya bercampur seperti gado-gado. Memenuhi pendengaran.

Awalnya eksperimen itu gagal. Tak ada satu pun tulisan dihasilkan. Lebih-lebih ketika seseorang menyapa kemudian mendekat dan membuka obrolan. Saat itu, segalanya menjadi ambyar!

Meski begitu, saya tak menyerah. Saya ulangi lagi eksperimen yang serupa. Tentu, suara-suara itu masih memenuhi pendengaran saya. Susah payah saya berkonsentrasi. Namun, di saat konsentrasi sedang penuh-penuhnya, tiba-tiba seorang kawan menghampiri dan mengajak ngobrol.

Kali ini saya tak mau kalah. Sembari mengobrol, saya terus saja menulis. Dan memang, agaknya saya cukup berhasil. 

Tulisan itu rampung saya garap. Namun, karena obrolan itu, saya akhirnya membutuhkan waktu yang lebih lama dari biasanya untuk menyelesaikan satu tulisan.

Saya ulangi lagi eksperimen yang sama. Tetapi, kali ini saya benar-benar tak menggubris obrolan teman yang tak sengaja bertemu di alun-alun. Saya cuwek dan seolah-olah tak menganggap teman saya ada di samping saya.

Lumayan, cukup berhasil. Walau begitu, setelah saya renungi lagi, saya malah merasa bersalah pada teman saya. Saya merasa tak enak hati karena telah menganggapnya seperti patung monumen.

Lain waktu lagi, saya ulangi eksperimen yang sama. Menulis di tengah keramaian alun-alun ditemani obrolan seorang teman. Kali ini lebih baik hasilnya, sebab yang saya tulis adalah obrolan saya dengan teman saya.

Bahkan, pada sebuah perjalanan ke luar kota, di dalam gerbong kereta api saya sibuk menulis. Ternyata berhasil. Karena di dalam kereta tiga orang yang duduk berhadap-hadapan sibuk dengan diri mereka masing-masing. Sehingga, saya tak perlu merasa terganggu dengan keberadaan mereka.

Di atas laju bus antarkota, saya juga pernah melakukan eksperimen. Menulis. Tapi, agaknya saya kurang berhasil. Meski sudah dilakukan beberapa kali, eksperimen ini selalu menuai kegagalan. 

Dugaan saya, karena gerakan bus yang selalu berubah-ubah, saya menjadi kesulitan menggoreskan bolpen di atas kertas. Akibatnya, bentuk huruf menjadi tak terbaca; awut-awutan.

Selain itu, saya juga melakukan beberapa eksperimen lainnya. Hasilnya sangat variatif. Tetapi, dari sekian banyak eksperimen itu ada satu hal yang kemudian saya temukan, bahwa menulis membutuhkan ketenangan.

Tenang, tidak harus menjadi sunyi tanpa suara. Tenang, bisa saja terjadi di tengah keriuhan suara-suara. Sebab ketenangan tidak identik dengan kesenyapan. 

Ketenangan lebih berorientasi pada kemampuan kita untuk mengelola diri dan mengolah pikiran. Tak kalah penting lagi, suasana hati.

Bagi saya, menulis bisa dilakukan di mana saja, kapan saja. Tak harus menunggu lonceng jam dinding berdentang dua belas kali di waktu malam, karena saya bukan Cinderella. 

Tak harus pula memasuki lorong lintas dimensi seperti Alice Kingsleigh dalam kisah petualangan Alice yang difilmkan tahun 2010 itu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun