Salah satu yang masih aku kenang betul adalah setiap kali jelang lebaran tiba. Ibu akan menyodoriku potongan kertas bekas bungkus rokok yang diikat dengan karet gelang.Â
Pada tiap-tiap kertas tertera nama pembeli dan sejumlah deret angka yang disusun tegak lurus ke bawah.
Ibu selalu menyuruhku menghitungnya. Ada yang jumlahnya puluhan ribu, ada pula yang belasan ribu.Â
Kala itu uang sepuluh ribu masih sagat bernilai tinggi. Setelah kuhitung semuanya, kadang aku iseng menghitung lagi. Kusobek satu lembar kertas buku pelajaranku, lalu kucatat semua hitungan angka pada lembar-lembar potongan kertas itu.Â
Dan setelah kuhitung, jumlahnya cukup fantastis. Angka itu tembus seratus ribu lebih. Setelah berhasil menghitungnya kusodorkan kertas itu kepada ibu.Â
Lalu, ibu membacanya dan mengoreksi. Jika ada yang salah, aku diminta mengulanginya. Jika sudah benar ibu akan tersenyum senang. Dan alangkah senangnya kalau aku berhasil menghitungnya dengan benar.
Setelah semua kertas itu dihitung, ibu biasanya memintaku segera membuangnya. Ya, karena masih kanak-kanak biasanya kertas-kertas itu aku buat mainan.Â
Kubakar kertas itu satu per satu. Barulah aku mengerti beberapa tahun kemudian, setelah berkali-kali lebaran aku jalani tugas dari ibu itu.Â
Ketika itu nilai uang kian berubah. Di tahun itu, jumlahnya mencapai jutaan sudah. Tetapi, ibu selalu memerintahkanku untuk membuang kertas itu. Padahal, lembaran kertas-kertas itu tidak lain dan tidak bukan adalah daftar utang pelanggan warung ibu.
Pernah, waktu itu aku protes. Ku beranikan diri menanya, "Apakah tidak sebaiknya mereka ditagih? Eman-eman, Bu. Kalau diuangkan kan lumayan."
Ketika itu ibu hanya menjawab, "Barangkali mereka benar-benar tak mampu atau lupa. Kalau tak mampu atau lupa kan percuma saja ditagih. Toh, yang penting dagangan ibu masih jalan. Tidak kurang."