Kota tak hanya masa kini. Juga bukan sekadar masa lalu. Kota adalah sebuah perjalanan panjang yang menautkan masa kini dengan masa lalu. Masa lalu mempersembahkan kisah-kisah keteladanan. Masa kini memberi makna, untuk selanjutnya dihadirkan sebagai pelajaran bagi masa depan.
Pewarisan ini menjadikan kehidupan terus berdenyut. Merembes ke segala aspek kehidupan. Hingga, menumbuhkan rasa memiliki, memperkokoh jati diri, namun luwes dalam menjalin hubungan lintas budaya.
Gambaran ini dapat kita lihat dari budaya Kota Pekalongan yang dinamis. Sifat dinamis itu terejawantahkan dalam seni arsitekurnya, Omah Lawang Sanga. Rumah sembilan pintu.
Selintas Masa Lalu Omah Lawang Sanga
Omah Lawang Sanga atau ada pula yang menyebutnya Omah Kaji (karena rata-rata pemilik dan penghuninya adalah mereka yang sudah berhaji) merupakan salah satu kekayaan budaya Pekalongan. Ada sembilan pintu utama pada Omah Lawang Sanga. Jumlah ini memiliki kesamaan jumlah lubang pada tubuh manusia. Kesamaan ini seolah mengisyaratkan bahwa rumah adalah seonggok tubuh. Sebagai seonggok tubuh, maka rumah membutuhkan beragam aktivitas agar ia menjadi hidup. Dan hidup, tidak sekadar hidup, ia mesti memberi manfaat dan memiliki kegunaan.
Demikian pula dengan Omah Lawang Sanga. Ia tak sekadar dibangun untuk tempat tinggal para juragan. Namun, melalui Omah Lawang Sanga denyut kehidupan batik, yang menjadi salah satu mata budaya Pekalongan, dihidupkan.
Permulaan Omah Lawang Sanga terjadi pada awal Abad ke-19. Ketika itu, bangunan-bangunan bergaya Eropa tengah marak didirikan di Pekalongan. Terlebih karena kedudukan Pekalongan sebagai Ibukota Karesidenan Pekalongan.
Mula-mula mereka tertarik dengan bangunan bergaya Eropa yang terkesan elegan. Namun, alih-alih ingin mewujudkan keinginan itu, mereka membangun rumah mereka dengan gaya yang diolah sedemikian rupa. Sehingga, tetap memiliki ciri pembeda.
Bangunan-bangunan gaya Eropa kala itu hanya menonjolkan pintu dan jendela berukuran besar, serta kekokohan pilar-pilar penyangga. Sementara Omah Lawang Sanga lebih dari yang dilakukan oleh arsitek-arsitek Eropa pada bangunan-bangunan mereka. Omah Lawang Sanga justru memanfaatkan apa yang ditonjolkan oleh bangunan bergaya Eropa itu semata-mata menjadi salah satu bagian dari bangunan. Konstruksi Omah Lawang Sanga bahkan memadukan konsep arsitektur lintas budaya, yaitu budaya Jawa, Arab, Eropa, dan Cina.
Perpaduan lintas gaya arsitektur ini mencirikan gaya egalitarian masyarakat Pekalongan. Dengan cara ini pula, seolah-olah para juragan ingin menyatakan kepada elite bangsa Eropa yang waktu itu berkuasa, bahwa kedudukan semua bangsa yang menghirup udara dan meminum air di tanah kelahiran mereka adalah sejajar. Tidak ada pembagian kelas di antara bangsa-bangsa itu.
Dengan kata lain, Omah Lawang Sanga merupakan cara Wong Pekalongan menunjukkan harga diri dan mensejajarkan kedudukan mereka dengan bangsa-bangsa lain. Kesadaran ini timbul melalui konsep dasar tentang rumah sebagai sebatang tubuh. Tubuh tidak akan memiliki guna apa-apa jika tidak difungsikan. Selain itu, juga karena faktor sejarah masa silam, yang mendudukkan Pekalongan sebagai salah satu kota dagang dunia.