Sejarah puisi modern di Indonesia tampaknya mulai tergugat. Seperti yang telah dibukukan dalam berbagai terbitan buku-buku tentang sastra Indonesia, nyaris semua pendapat mengamini jika tonggak sejarah sastra Indonesia modern dimulai pada era 1920-an. Ditandai dengan kemunculan puisi "Tanah Air" karya M. Yamin dalam Jong Sumatra No. 4 Tahun III, April 1920.
Tentu, kelahiran sastra Indonesia modern tidak lepas dari peran A. Teeuw, seorang kritikus sastra Indonesia kebangsaan Belanda kenamaan itu. Argumennya mampu menyihir semua orang Indonesia untuk tidak bisa mengatakan tidak. Nyaris semua mengiyakan. Bahwa sebelum era 1920-an, sastra yang berkembang adalah sastra lama.
Pandangan A. Teeuw kemudian diperkuat pula oleh kawan sesama Belandanya, Christiaan Hoykaas, dengan menyatakan bahwa beberapa sastra lama yang berkembang di Indonesia adalah cangkokan dari sastra-sastra asing. Sebut saja, syair misalnya.
Melalui pandangan itu seolah-olah bangsa Indonesia tidak memiliki puisi sebagaimana yang dipahatkan dalam ingatan kolektif bangsa Barat, yang selanjutnya disebut sebagai puisi modern.Â
Padahal, dalam beberapa hal, istilah modern itu sendiri kerap digugat. Tidak hanya oleh para pemikir Timur, melainkan pula oleh para pemikir Barat. Apakah ukuran modern harus mengacu pada dunia pemikiran Barat? Apakah tidak menutup kemungkinan, sebelum bangsa Barat mencapai pada tahap "modern", bangsa Timur telah mencapai kemodernan? Dan banyak lagi pertanyaan.
Tetapi, apa boleh buat. Modernitas sepertinya memang sudah menjadi paten bagi bangsa Barat. Sekalipun bukti-bukti kemodernan bangsa Timur ditunjukkan, bahkan melampaui usia tua kemodernan Barat, tetap saja modern adalah istilah yang dihadirkan oleh mereka.
Meski begitu, bukan berarti hal itu membuat bangsa-bangsa Timur, lebih khusus lagi bangsa Indonesia merasa kerdil dan ciut nyali. Segenap upaya untuk menyingkap tabir rahasia masa lalu, guna memendarkan kilauan cahaya gemilang masa depan, harus terus dilakukan. Seperti yang dilakukan Indra Sarathan, Widyo Nugrahanto, dan Randy Ridwansyah.
Berangkat dari satu almamater, Universitas Padjadjaran, mereka melakukan penelitian terhadap teks pada Yupa Muarakaman. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Agustus 2018 dengan mengunjungi Museum Nasional Jakarta, tempat penyimpanan Yupa Muarakaman.
Seperti diketahui, Yupa Muarakaman merupakan salah satu prasasti yang dimiliki oleh Kerajaan Kutai. Para pakar sejarah sepakat jika prasasti Kutai merupakan gerbang awal peradaban zaman sejarah Nusantara. Atau dengan istilah lain, zaman telah ditemukannya tulisan.
Pada yupa-yupa Prasasti Kutai terdapat aksara yang berupa aksara Pallawa. Konon, berasal dari India Selatan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sanskerta, bahaya yang bermigrasi dari India Selatan pula. Sedang, keterangan yang dicatatkan dalam prasasti itu berbentuk syair. Diperkirakan prasasti-prasasti itu berasal dari pertengahan abad V Masehi (sekitar tahun 400an).
Yupa Muarakaman merupakan prasasti yang dituliskan pada batu berbentuk tiang (yupa). Tingginya 169 cm, lebarnya 38 cm, dan memili ketebalan 29 cm. Bagian depan, tampak tertulis rapi aksara Pallawa dengan bahasa Sanskerta. Ada 12 baris tulisan, dengan ukuran tulisan antara 1-4 cm dengan jarak antarbaris 0,5---1 cm.
Sebagaimana umumnya prasasti, bagian awal tulisan pada Yupa Muarakaman menyebut silsilah Raja Mulawarman. Disebutkan, bahwa Sri Maharaja Kudungga yang berputra Aswawarman yang mempunyai tiga orang anak. Di antara ketiga anak itu, Mulawarmanlah raja yang berperadaban baik kuat, dan berkuasa. Disebutkan pula bahwa yupa yang didirikan merupakan tugu untuk memperingati upacara selamatan bahusuwarnnakam.
//srimatah sri-narendrasya / kundungasya mahatmanah / putro svavarmmo vikhyatah / vansakartta yathansuman / tasya putra mahatmanah / trayas traya ivagnayah / tesan trayanam pravarah / tapo-bala-damanvitah / sri mulawarmma rajendro / yastva bahusuvarnnakam / tasya yajnasya yupo 'yam / dvijendrais samprakalpitah//
Berdasarkan kajian teks prasasti, ketiga peneliti dari Fakultas Ilmu Budaya Unpad ini menemukan sebuah fakta unik. Ternyata, terdapat pola tertentu yang sangat konsisten pada tiap bait teks prasasti Muarakaman.Â
Menurut mereka, teks tersebut tersusun atas 8 suku kata tiap baitnya. Diperkuat dengan pendapat pada ahli yang menggolongkan teks tersebut sebagai puisi anushtub/ sloka (berpola 8-8-8-8) dan berima a-a-a-a (perhatikan ketiga teks di atas), mereka menduga bahwa teks prasasti Yupa Muarakaman sebagai bentuk puisi.
Hal ini berbeda dengan pendapat yang selama ini berlaku. Sebagian besar sejarawan atau arkeolog menggolongkan teks prasasti sebagai teks prosa atau semacam narasi. Terutama, pada saat teks tersebut diinterpretasikan ke dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
The illustrious lord-of-men, the great Kundunga, had a famous* son, Agvavarman [by name], who, like unto Amcumant, * was the founder of a noble race. His were three eminent sons resembling the three sacrificial fires. Foremost * amongst these three and distinguished by austerity, strength, and self-restraint * was the illustrious Mlavarman, the lord-of-kings, who had sacrificed a Bahusuvarnaka * sacrifice. For that sacrifice this sacrificial post has been prepared by the chief amongst the twice-born.(Vogel)
Sang Maharaja Kundunga, yang amat mulia, mempunjai putra yang mashur, Sang Awawarmman namanja, jang seperti Sang Anuman = (dewa Matahari) menumbuhkan keluarga jang sangat mulia. Sang Awawarmman mempunjai putra tiga, seperti api (jang sutji) tiga.2) Jang terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mlawarmman, radja yang berperadaban baik, kuat dan kuasa. Sang Mlawarmman telah mengadakan kenduri (selamatan jang dinamakan) Emas-amat-banjak. Buat peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para Brahmana. (Poerbatjaraka)
The illustrious lord of men, the mighty great of Kundunga, had a famous son Asvavarman (by name), who, like unto Amsumant, was the founder of a noble race. His were three eminent sons resembling the three sacrificial fires. Foremost amongst these three and distinguished by austerity strength and self-restraint was the illustrious Mulavarman, the lord of kings, who had performed a Bahusuvarnaka sacrifice. For that sacrifice this sacrifical post has been established by the eminent Brahmanas. (Chhabra)
Lewat naskah penelitian yang bertajuk "Teks Yupa Muarakaman: Puisi Indonesia Abad ke-5", ketiga peneliti Unpad ini menyayangkan teknik penerjemahan yang justru meninggalkan kaidah penulisan puisi yang terdapat pada teks prasasti Yupa Muarakaman. Hal itu dapat dimaklumi, mengingat  jarak bahasa yang terlampau jauh antara bahasa Sanskerta dengan bahasa Indonesia. Kendati begitu, mereka berusaha keras merekonstruksi penerjemahan teks prasasti tersebut dengan mempertahankan bentuknya, puisi. Yaitu, dengan menggunakan pola 8 sukukata per bait/barisnya.
Versi 1:
sri matah yang dipertuan, 8
Kundungga yang berkuasa, 8
punya putra Aswawarman, 8
sang pendiri wangsa karta ,8
mempunyai tiga putra, 8
bagai tiga api suci, 8
terutama yang ketiga, 8
atas kekuatan raga, 8
raja di raja Mulawarman, 9
yang telah mempersembahkan (bahusuvarnnakam), 8
untuk persembahan ini, 8
didirikan peringatan (oleh Brahmana yang utama). 8
versi 2:
sri matah yang dipertuan, 8
sang Kundungga yang kuasa, 8
punya putra Aswawarman, 8
pendiri bangsa mulia (wangsa karta), 8
mempunyai tiga putra, 8
bagai api suci tiga, 8
terutama yang ketiga, 8
atas kekuatan raga, 8
maharaja Mulawarman, 8
yang mempersembahkan emas (bahusuvarnnakam), 8
didirikan batu yupa, 8
sebagai peringatan (oleh brahmana yang utama). 8
Usaha yang mereka lakukan tampaknya cukup berhasil. Mereka mampu menghadirkan penerjemahan teks prasasti yang puitis. Namun, apabila dicermati secara saksama, masih terdapat kelemahan. Terutama, pada baris terakhir pada terjemahan versi kedua. Pola 8 sukukata tampak luput dalam penerjemahan tersebut.
Meski demikian, wacana yang disodorkan ketiga peneliti Unpad ini sangatlah menarik. Melalui kajian yang mereka kerjakan, mereka menghendaki adanya upaya merekonstruksi sejarah puisi Indonesia.Â
Menurut mereka, sebagaimana ditulis dalam jurnal Saung Btang Vol. 14, Nomor 1, Juni 2019, penyusunan sejarah puisi Indonesia perlu menengok teks-teks kuno, seperti pada prasasti Yupa Muarakaman. Sehingga, tidak berhenti sampai era 1920-an. Akan tetapi, sangat mungkin dapat dirunut hingga abad V Masehi. Tentu, hal ini menjadi sebuah tantangan yang seru bagi penelitian sastra di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H