didirikan batu yupa, 8
sebagai peringatan (oleh brahmana yang utama). 8
Usaha yang mereka lakukan tampaknya cukup berhasil. Mereka mampu menghadirkan penerjemahan teks prasasti yang puitis. Namun, apabila dicermati secara saksama, masih terdapat kelemahan. Terutama, pada baris terakhir pada terjemahan versi kedua. Pola 8 sukukata tampak luput dalam penerjemahan tersebut.
Meski demikian, wacana yang disodorkan ketiga peneliti Unpad ini sangatlah menarik. Melalui kajian yang mereka kerjakan, mereka menghendaki adanya upaya merekonstruksi sejarah puisi Indonesia.Â
Menurut mereka, sebagaimana ditulis dalam jurnal Saung Btang Vol. 14, Nomor 1, Juni 2019, penyusunan sejarah puisi Indonesia perlu menengok teks-teks kuno, seperti pada prasasti Yupa Muarakaman. Sehingga, tidak berhenti sampai era 1920-an. Akan tetapi, sangat mungkin dapat dirunut hingga abad V Masehi. Tentu, hal ini menjadi sebuah tantangan yang seru bagi penelitian sastra di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H