Keterbukaan struktur puisi Mardi tercipta oleh pluralitas materialitas puisi. Kenyataan kultural. Ketika Mardi mencoba menggali pesisiran, di Gresik tradisi itu pernah dibentuk oleh Sunan Giri, tradisi Islam, kenyataan yang muncul justru simpang siur tradisi. Gresik bukan lagi kota pesantren. Gresik telah menjadi tempat tinggal “pabrik” dan banyak orang-orang datang untuk berprofesi sebagai buruh. Mau tidak mau, ingin tidak ingin, tradisi pesisiran puisi Mardi Luhung bergeser jauh dari tradisi pesisiran Sunan Giri. Pada puisi berjudul “Ziarah ke Reruntuhan Makammu”, Mardi membuka puisi dengan larik, apa yang bisa aku baca dari reruntuhan makammu, yang kini tinggal lubang kakusnya itu.
Analogi paling tepat dari propinsi Jawa Timur adalah kehidupan seorang remaja. Usia yang belum matang dan psikologi yang tidak utuh. Orang muda cenderung berani melakukan percobaan-percobaan dan berspekulasi untuk menerima tantangan gagasan baru. Tanggung jawab yang ketat, semisal rumah tangga, belum kuat mengikat. Para penyair terkondisikan untuk bereksperimen terhadap puitika-puitika baru. Ikatan tradisi dengan sastra lama, pola rima dan irama tembang, yang sempat menjadi identitas sastra Jawa, menjadi mudah diabaikan. Pemicu tindakan ini, Jawa bukan ada di Jawa Timur, saat ini, Jawa ada di Yogyakarta.
Pergeseran pusat tradisi masyarakat Jawa Timur sangat penting untuk dicatat. Jawa Timur, dahulu, merupakan bagian kerajaan Mataram, pusatnya ada di Yogyakarta. Kini, Jawa Timur merupakan sebuah propinsi baru, pusatnya ada di Surabaya. Yogyakarta = kejawaan. Surabaya = perekonomian. Golongan bermartabat dalam pandangan Jawa adalah pamong praja (baca: pegawai) dan agamawan (baca: kyai). Pedagang bukan orang terpandang. Surabaya, sebagai kota yang sedang bergerak dengan motivasi perekonomian, pedagang sukses mendapat kehormatan besar dari masyarakat.
Orang-orang Jawa Timur sedang berada dalam keakutan pergeseran pusat budaya. Satu sisi menyandang keagungan mitologi kejawaan, di sisi lain menghadapi godaan ekonomi yang glamour. Dua sisi saling bertentangan ini bukannya tidak tampak dalam puisi para penyair Jawa Timur. Dilema kultural justru mendukung nilai estetik. A. Teeuw dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra menengarai, “puisi dibentuk oleh serangkaian pertentangan gaya dan tema”. Para penyair Jawa Timur, dengan ketegangan kulturalnya, tidak sulit untuk membangkitkan dan membentuk pertentangan-pertentangan struktur teks. Hanya dengan sedikit sublimasi, para penyair Jawa Timur akan menyadari “saya ada dalam dua kultur saling bergesekan”.
Surabaya sebagai kota perekonomian juga membuat kehidupan menjadi banal. Komunalitas masyarakat Jawa Timur dibentuk oleh sistem yang bersifat non-spiritual. Desakralitas lembaga agama. Spiritualitas tersisa terdapat dalam seorang perseorang. Individu bebas memilih dan menjalani keagamaan tertentu, wujud transendensi, hubungan personal dengan Tuhan.
Berbagai gambaran ketuhanan atau kehidupan religi tersurat dalam puisi penyair Jawa Timur. Kesemuanya memiliki kesamaan menggairahkan, religi diartikulasikan secara material dan personal. Tuhan bukanlah sosok yang patut diperagungkan. Tuhan merupakan sosok yang layak dipertanyakan sekaligus dicari bentuk kelembagaannya, di antara bentuk lembaga-lembaga yang telah ada.
Beni Setia dalam puisi “Pelampung” menuliskan, kalau duka itu bertali dan tuhan boleh diseru sambil bergulingan di pinggir jalan, tentu rasul akan sabar menungguiku mengurai di dipan. Tampak sekali, Beni cari mencari hubungan ketuhanannya di dalam materialitas yang banal. Tuhan digambarkan boleh diseru sambil bergulingan di jalan. Adegan dalam puisi Beni sangat bertolak belakang dengan adegan orang bersembahyang di tempat-tempat ibadah.
Kembali kepada Jawa Timur sebagai kelincahan kaum remaja, di propinsi ini segala ilmu pengetahuan dapat begitu saja masuk sekaligus dapat sedemikian cepat untuk lenyap. Seorang remaja, dengan sedikit sentuhan, bisa tiba-tiba menggemari satu tokoh pengetahuan. Berhari-hari dihantui oleh fokus pengetahuan tersebut. Setiba-tiba pula, sang remaja berpindah ke pengetahuan lain sembari anti pati terhadap ilmu pengetahuan yang lebih dulu digemari. Demikian pula gambaran puisi dari Arief B. Prasetyo dan Mashuri, pada sejumlah puisi kedua penyair tersebut, tokoh ilmu pengetahuan keluar masuk dengan melimpah. Berganti-ganti. Cepat tumbuh. Dan, terlupakan.
Kondisi pengetahuan yang beganti-ganti sangat buruk bagi pertumbuhan sosial kemasyarakatan dalam kenyataan. Kematangan dan perkembangan yang terarah tidak terealisasi, tetapi tidak bagi puisi, masuk dan keluarnya beragam pengetahuan mampu memberi keragaman puitik pada teks. Masing-masing pengetahuan memberi corak yang berbeda. Penyair pun tidak terkungkung oleh satu bentuk puitik. Lebih bagus lagi, penyair tidak terkuasai oleh ideologi. Kondisional ini juga membuka kemungkinan terbalik, penyair memilih berkonsentrasi terhadap satu pengetahuan atau ideologi yang selalu diperjuangkan. Di propinsi masa remaja ini, para penyair berhak dan dapat dimaklumi untuk menghidupi pilihannya; tidak ada patron di Jawa Timur.
Jawa Timur, Surabaya sekalipun, memang bukan pusat pengetahuan. Mobilitas pengetahuan di kota-kota propinsi Jawa Timur masih kalah jauh dibanding kota Bandung, Yogyakarta, apalagi Jakarta. Impor pengetahuan di kota-kota tersebut sedemikian cepat, penelitian atau penerapan pengetahuan baru pun banyak terwujud. Sangat sedikit ilmuwan dari Jawa Timur yang berskala nasional. Penerbit pun sangat sedikit jumlahnya. Ilmu pengetahuan datang ke Jawa Timur dalam jumlah terpotong-potong dan dalam tahapan yang tidak stabil. Jawa Timur menjadi imajinatif karenanya.
Pengetahuan datang ke Jawa Timur tidak tumbuh berkembang sebagai ilmu pengetahuan. Teraplikasikan bukan dalam bentuk karya ilmiah atau pengetahuan tertulis. Pengetahuan masuk dan berkutat-kutat lalu keluar dalam bentuk puisi. Pengetahuan menemukan kelengkapannya melalui keretakan kultural, fantasi, dan imajinasi. Penerima paling menghormati adonan kultur adalah kesenian, utamanya puisi.