Semenjak kecil, Deny menyukai tari. Dunia panggung tari dikenalnya sejak masih sekolah dasar. Hobi itu berlanjut hingga sekarang. Deny kerap menerima job tari. Bahkan, ia kini sedang menekuni kuliah tari di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta sembari mengajar tari di Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman Al Hakim Surabaya.
Artinya, Deny amat mengenal dan menguasai tubuh. Bisa memanajemen tubuh sendiri. Mampu mengejawantahkan makna lewat gerakan-gerakan tubuh.
Pengetahuan tentang tubuh itulah yang lantas dipraktikkan dalam mengolah kata. Hasilnya, puisi yang bersumber dari eksplorasi tubuh. Puisi yang kata-katanya menjelma tarian-tarian.
Lantas, apakah puisi Deny menjadi amat feminin. Saya kurang melihat sisi feminin dalam puisi Deny.
Yang ada, justru sebaliknya. Lihatlah puisi kutipan puisi “Tarian Laut Selatan” berikut: lukisan laut hening, di mana ombakku kehilangan pita suara, namun gemulai tubuhmu masih mengalirkan sungai berenda, merah seperti riak laut yang jauh, menusuk jiwa akut yang takut, oleh cerita dendam, seperti selendangmu yang berlumuran darah.
Satu penggal bait puisi Deny tersebut menampakkan puitika akrobatik. Lewat puisi, saya bisa menyaksikan kata-kata berlompatan membentuk realitas-realitas tanpa terduga, tetapi dapat diterima nalar. Kata-kata dirakit tanpa kepercayaan pada landasan kuat membentuk lompatan. Kata-kata seakan bersijingkat dalam medan makna. Latar belakang dihadirkan sebatas pemenuhan alur teks.
Semula Deny bercerita tentang lukisan laut. Hening. Lantas ia seperti memasuki lukisan. Tenggelam. Menggelibatkan problem kediriannya dengan lukisan. Di mana ombakku kehilangan pita suara. Lukisan tersebut menjadi representasi kedirian Deny.
Setelah ia berhasil merengkuh suasana laut dalam kediriannya, Deny pun memperluas wilayah persoalan. Ia mempertautkan dengan tokoh lain, yakni tokoh engkau. Namun gemulai tubuhmu masih mengalirkan sungai berenda.
Dari permainan alur itulah, tiga dunia berkitaran. Saling silang. Dan hasilnya, muncul sebuah dunia baru yang kompleks. Merah seperti riak laut yang jauh. Oleh cerita dendam.
Selain Deny, ada dua penyair perempuan yang menunjukkan perkembangan menggembirakan. Dia adalah Dian Nita Kurnia dan Benazir Nafilah. Yang pertama ini lulusan Sastra Inggris di Fakultas Ilmu Budaya Unair. Sedangkan satu lagi lulusan STKIP Sumenep. Dia berproses kreatif bareng Ahmad Fauzi dan kawan-kawan di Sanggar Lentera.
Puisi Dian berjudul "Rindu Awang" yang dimuat Surabaya Post, 22 Februari 2011, menunjukkan pencapaian teknik yang matang. Dian memperlihatkan penguasaan tema dan teknik secara seimbang. Sebuah kerinduan yang direpresentasikan dengan melankoli, universal, sekaligus menembus ke ranah jelajah semiotik. Kita bisa memberi tafsir berlainan dari "ruang imajiner" yang dipaparkan Dian. Persoalan cinta pun dimungkinkan untuk digiring ke persoalan-persoalan lain yang lebih luas. Semisal kesendirian, perjuangan menempuh hidup, transendensi, maupun kemanusiaan. Teks hadir dalam kebebasan tafsir.