Masa Orde Lama
Selama masa Orde Lama kepemimpinan Soekarno, banyak penyair Jawa Timur yang terinspirasi oleh gerakan sosialis maupun komunis. Ketika menulis puisi, tema-tema yang diunggah bukan menghadirkan keagungan atau kehinaan yang melangit. Para penyair lebih tersedot oleh kerumitan, kegelisahan, kesementaraan, dan tragedi dunia kerja. Sebuah dunia yang tidak berlumuran dengan doa dan cinta. Dunia ini penuh dengan tetesan keringat, tawa, dan obsesi keseharian. Kesemuanya termaktub dalam kumpulan puisi Laut Pasang terbitan Surabaya tahun 1962.
Walau lingkungan politik yang cenderung beraliran kiri, puisi mereka juga memiliki sandaran logis dari kultural Jawa Timur, utamanya kota Surabaya. William H Frederick dalam buku Pemandangan dan Gejolak Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia, Surabaya 1926-1946 (Jakarta, Gramedia, 1986) menggambarkan kondisi menjelang akhir abad kesembilan belas, Surabaya termasuk kota terbesar di Hindia Belanda. Penghuni Surabaya, ketika itu, mirip dengan proporsi penghuni sekarang, penuh dengan orang-orang yang tidak berasal dari Surabaya an sich. Penduduk Surabaya hanya sebagian kecil dibanding luberan pendatang yang singgah dan menetap untuk berdagang, berwiraswasta, atau pun kerja kantoran. Tidak saja pendatang lokal Jawa; di Surabaya berjubelan warga keturunan Cina, Arab, dan India. Tentu saja, ditambah dengan orang-orang Belanda dan Eropa. Jumlah pendatang yang prosentasenya lebih besar dibanding pendatang di kota-kota lain di Indonesia. Surabaya lahir dan besar dengan menanggung beban kosmopolitan. Sebuah kota yang mimpi dengan mata terbuka.
Oleh sifatnya yang plural, dan oleh penduduknya yang bukan asli, orang Surabaya kurang mempunyai hubungan mistis atau sakral dengan tanah dan alam. Bila di Yogyakarta, Bali, bahkan Banten, alam dikaitkan dengan ritual-ritual mistis. Orang Surabaya menganggap alam sebagai sahabat karib yang akrab. Alam bukanlah sosok dunia lain, alam ada sebagai bagian dari kehidupan manusia.
Perendaman di dalam alam tidak terjadi pada masyarakat Surabaya. Alam tidak dipuja-puja atau diagung-agungkan. Keaslian alam bisa sewaktu-waktu diubah, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Potensi alam didaya-gunakan untuk kepentingan umat manusia, dan bukannya untuk kepentingan jin atau genderuwo. Alam sah untuk digali dan diperjual-belikan. Manusia ada di depan alam. Ini mirip dengan gejala antroposentrisme dalam pengertian Nicholas Alexandrovicth Berdyaev, seorang filsuf peletak dasar filsafat eksistensialisme, “manusia adalah pusat alam semesta”. Manusia menentukan bertahan atau terkurasnya nasib alam.
Bermula dari hubungan masyarakat dengan alam, puisi-puisi Laut Pasang menemukan spiritualitas yang menggerakkan aktivitas kultural. Ada tercetak dalam puisi “Matahari Dikening Kami”: Berkatalah sekarang, berkatalah, kemana kami mesti melangkah, kepertjajaan yang kami dukung ialah milik orang-orang djujur, berkatalah, kerdja apa jang mesti dilembur (Andi Amaruliah Machmud). Aku lirik, tokoh aku pada puisi, mempersandingkan sifat kejujuran dengan keinginan untuk bekerja. Tidak hanya kerja semestinya atau kerja sesuai jadwal, lebih dari itu, aku lirik meminta tambahan waktu melalui jam lembur. Suatu pasangan aneh dalam kenyataan; jujur dan lembur. Seseorang yang ingin menunjukkan kejujuran, sikap etis bermasyarakat, dengan usaha kegilaan dalam jam kerja lembur. Di situ, kerja menjadi penanda dari tindakan, yang menurut konsepsi aku lirik, bernilai benar!
Keinginan atau kebutuhan dalam kerja begitu besar. Jam-jam berlarian menuju kerja. Effendi M.S. menuliskan puisi “Pelajaran”: Nelajan jang berkatja dibulan pagi, dibenam hatinja dilubuk laut, adalah dendam jang datang setiap saat, membajang ombak dimatanja. Penting diperhatikan kata “dendam” yang dituliskan penyair Effendi. Kata itu mengandaikan obsesi berlebihan terhadap hal-hal yang dikenai. Padahal, dendam terhadap seseorang seringkali membikin si pendendam rela melakukan apapun agar keinginan terkabul. Di sini, di puisi Effendi, dendam mengejawantah dalam wujud kerja nelayan. Dengan latar bulan di pagi hari, nelayan melihat laut dengan ombak beriaknya sebagai tugas “penting dan mendesak” untuk disikapi. Pilihan-pilihan lain terabaikan, sang nelayan berangkat kerja dengan langkah tegap, mantap. Mencari ikan adalah pilihan tunggal tak terbantah.
Kekuatan diri pada kerja dalam dua puisi tersebut merupakan isyarat, tindakan kerja bukan tugas yang berasal dari luar diri. Kerja telah inheren, melekat di dalam diri nelayan. Bukan saja tugas kemasyarakatan yang mengarah kepada kepentingan orang banyak, ini kerja ialah obsesi pribadi, bertempat dan meledak di dalam diri. Kerja menjadi tindakan spiritual.
Kerja bertukar tangkap dengan diri pribadi: Tjintanja datang karena kerdja ditangan tua jang gemetar. Dipunggung pungguk anak desa jang matinja kelaparan. Ditindakan jang sarat oleh jawaban untuk zamannja, dalam hati jang selalu berbisik: O, usia berbijih rasa, nikmatnja berumah dan bekerdja (Hadi S, “Usia Penyair”). Kegairahan dalam bekerja memperbesar sangkaan, ia berputar-putar secara irasional pada diri aku lirik. Tindakan yang bukan saja tidak terbantah, resiko ringan atau berat, sedikit saja, tiada melintas dalam pikiran. Kerja dirasakan murni sebagai tugas terakhir dalam diri. Kerja sebagai satu-satunya alasan untuk menjalani hidup dan kehidupan. Dimensi ketuhanan melekat di dalam kerja. Lebih lanjut, inilah yang aku tangkap, di dalam kerja ada terdapat kelengkapan kemanusiaan, estetika, dan pandangan hidup.
Kegilaan terhadap kerja, sebagai manifestasi ketuhanan, sangat menarik diperbandingkan dengan pemahaman umum tentang sembahyang. Konon di kisah-kisah, sembahyang yang berkualitas tinggi ditemui berada dalam orang seorang yang seharian bertafakur, merenung, atau kurang melakukan aktivitas keseharian kecuali berdoa. Pada orang tersebut, semoga pemahaman saya salah, hidup yang hanya dipenuhi dengan kerja dianggap jauh dari nilai religius. Bersandar dari puisi para penyair Surabaya, runutan logika menjadi terbalik. Kehidupan “merenung” bukanlah sama sekali tanpa nilai sebagai sarana pembenaran di hadapan Tuhan, akan tetapi kehidupan itu juga berarti penolakan kewajiban di dunia ini sebagai hasil egoisme diri, dengan tindakan menyingkir dari kewajiban-kewajiban di dunia. Yakni, suatu pernyataan bahwa pemenuhan kewajiban duniawi di dalam segala kondisi merupakan saatu-satunya jalan untuk bisa hidup dan dikehendaki oleh Tuhan, dan karenanya kerja pasti mempunyai manfaat yang sama di dalam pandangan Tuhan.
Adanya dimensi spiritual membuat resiko-resiko dalam dunia kerja sebagai sesuatu yang layak diterima. Kerja dan kepahitan jang djadi satu, betapa pedihpun, dari sini nilai dibangun, betapa indahnja, Mobil mewah dan rumah jang gemerlapan, Lidah jang didjual, harga diri jang digadaikan, atau, Keringat jang dihisap dan darah jang disadap (Hadi S, “Sadjak-sadjak Hitam”). Lihatlah larik-larik puisi tersebut, problem-problem kerja dijadikan sumber nilai. Kemegahan muncul dalam semangat kerja. Keindahan bersumber pada atau dari kerja.