Mohon tunggu...
Ribka Carebella
Ribka Carebella Mohon Tunggu... -

For me to live is Christ and to die is luck

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

I Didn't Say to my Dad

8 Oktober 2014   01:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:59 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinginnya udara malam mulai masuk pada celah-celah jendela kamar. Aku terbaring di tempat tidurku mencoba memejamkan mata untuk berusaha membuat diriku tertidur. Entah mengapa malam ini aku sangat sulit untuk memejamkan mataku. Aku melihat disekelilingku lalu duduk disamping tempat tidurku. Mungkin minum teh hangat mampu membuatku tertidur, pikirku.


Aku segera keluar dari kamar dan menuju dapur, saat aku melihat ruang kerja papa, aku melihat papa yang sedang menekuni pekerjaannya di depan laptop. Aku terus mengamatinya selagi papa membelakangiku. Di umur papa yang ke 50 tahun, rambut hitamnya mulai ditumbuhi oleh uban. 25 tahun papa menghabiskan waktu untuk menafkahi anak dan istrinya.


Papa!!! dialah satu-satunya lelaki yang aku sayang di dunia ini. Sosok lelaki yang selalu kubanggakan, sosok papa yang sempurna di mataku. Ia mengajariku untuk bersikap sederhana. Tiba-tiba muncul dorongan untuk menghampirinya, memeluknya, mencium pipinya dan berkata "aku sayang papa" seumur hidup aku tidak pernah mengatakannya. Entah mengapa aku tidak pernah mampu mengatakan bahwa aku sangat menyayanginya. Mungkin karena aku malu untuk mengungkapkan rasa sayang aku kepada kedua orangtua ku. Sering kali kalimat itu ingin aku sampaikan tapi aku tidak sanggup untuk mengatakannya. Menyadari kehadiranku, Papa menoleh membalikkan badan dan tersenyum melihat anaknya berdiri di depan pintu ruang kerjanya. "Chiara, kenapa belum tidur?" tanya papa sambil melepaskan kacamatanya. Aku berjalan mendekatinya. "Papa kenapa belum tidur?" tanyaku sambil melirik layar laptopnya yang menampilkan slide-slide dari program powerpoint. "Papa sedang mempersiapkan bahan untuk persentasi besok pagi" kata papa sambil memijat lehernya. Dorongan hati untuk berkata "aku sayang papa" seakan ingin cepat-cepat aku katakan kepadanya. Aku membuka mulut dan memberanikan diri untuk mengucapkannya. "Pa, aku mau bilang.. aku.. aku.. aku.. aku ngantuk. Aku tidur dulu ya, Pa." Aku terkejut mendengar kalimat yang keluar dari mulutku sendiri, kalimat itu tidak sama dengan apa yang aku pikirkan. Lalu kulihat papa mengangguk dan aku pergi dari hadapannya.


Aku kembali ke kemarku dan menyesali ucapanku. Aku merasa kesal pada diriku sendiri. Dalam hati aku mempertanyakan rasa takutku. KENAPA TIDAK AKU KATAKAN ? DIA ITU PAPAKU, APA YANG SEBENARNYA AKU TAKUTKAN? ku lihat langit-langit kamar yang gelap dan berusaha menghibur diri dan mengatakan mungkin besok pagi aku mempunyai keberanian untuk mengatakannya. Iya! besok pagi sebelum papa berangkat kerja!


Pagi hari..


"Chiara bangun!" suara mama membangunkanku. "Chiara ayo bangun nanti kamu terlambat sekolah" setelah aku membuka mata, kulihat jam dinding pukul 06.00 oh tidak! aku kesiangan! Dengan cepat aku mempersiapkan diri untuk sekolah. Saat keluar kamar aku sempatkan untuk melihat papa diruangan kerjanya. Bersih! Tak ada orang disana! "Papa sudah berangkat, Ma?" tanyaku sambil mengambil roti coklat diatas meja makan. "Iya papa sudah berangkat jam 5 subuh tadi" jawab mama. "Jam 5?" tanyaku dengan kecewa. Mama mengangguk "hari ini papa ada meeting jam 07.30" Aku terdiam beberapa saat, merasa kecewa karena rencana semalamku gagal. "Ayo cepat nanti kamu terlambat" kata mama menghancurkan pikiranku. Aku menghabiskan sisa makananku dan pergi sekolah.


Saat pulang sekolah, dan tiba dirumah. "Mama.." sapaku manja. "Anak mama sudah pulang. Gimana tadi? kamu terlambat ya?" tanya mama sedikit khawatir. "Hampir terlambat ma, tapi untungnya aku bisa mengejar jalanan kota dengan cepat, jadi tidak terlambat hehe" jawabku dengan muka penuh kemenangan karena tidak terlambat. "Ya sudah ganti baju dulu habis itu makan, Mama mau mandi dulu." Ketika hendak ke kamar, tiba-tiba nada panggilan telepon mengagetkanku.


"Hallo" sapaku.


"Hallo, ka Shila?" suara tante Santi, adik papa diujung telepon.


"Bukan tante ini Chiara, Mama lagi mandi."


"Oh Chiara. Chiara kamu dirumah sama siapa?" tanya tante Santi dengan nada yang tidak seperti biasanya.


"Sama mama, tante" jawabku.


"Belum ada siapa-siapa disana?"


"Tidak ada siapa-siapa disini. Hanya aku dan mama. Memangnya ada apa sih tante?" Aku mulai curiga.


"Tidak ada apa-apa. Tante sekarang lagi diperjalanan, menuju rumah kamu. Sebentar lagi tante sampai." Katanya kemudian, telepon ditutup tanpa aku bisa bertanya banyak.


Aku mulai bertanya-tanya didalam hati. Tumben tante Santi tinggal di Bandung mendadak ke rumahku tanpa memberikan kabar sehari sebelum kedatangannya. Setelah 20 detik kemudian telepon berdering lagi. Kali ini dari paman Sam, kakak Papa


"Chiara ada apa?" tanya paman Sam sangat cemas.


"Ada apa?" Aku bertanya balik.


"Iya ada apa? kamu tidak kenapa-kenapa? Dari tadi nenek dan saudara-saudara yang lain menelepon paman Sam. Semua menanyakan kamu dan mama kamu, dan sekarang mereka semua sedang menuju rumah kamu. Benar kamu tidak apa-apa ?"tanya paman Sam dengan nada cemas.


"Aku tidak apa-apa paman" aku berusaha meyakinkannya.


"Mama dan papamu?"


Aku melihat mama yang masih memakai handuk, berdiri dibelakangku. "Siapa Chiara?" tanya mama penasaran. Aku langsung menyerahkan ganggang telepon ke mama.


"Hallo"


"Oh, Sam. ada apa ? Kakak disini hanya sama Chiara. Natan masih dikantor. Saya sama Chiara baik-baik saja. Ada apa Sam ?" tanya mama curiga.


"Oh yasudah"


Lalu mama meletakkan gagang telepon ketempat semula. "kenapa ma?" tanyaku setelah Mama menutup telepon. "Paman Sam mau kesini" jawab mama. Aku khawatir mendengar suara mama "Ada apa sih ma? Kenapa semua orang mau kesini? Tadi tante Santi telepon dan dia juga mau kesini." "Mama juga gaktau Chi." Tiba-tiba bayangan Papa lewat dipikiranku, tanpa memikirkan panjang, aku langsung mengambil gagang telepon. "Kamu mau telepon siapa Chiara?" "Aku mau telepon Papa" "Jangan Chiara papa kamu sedang kerja. Kasihan kalau diganggu." Cegah Mama. Aku terdiam mendengar perkataan Mama tapi sedetik kemudian aku tidak memperdulikannya. Aku berusaha menghubungi hanphone Papa. Telepon tersambung tapi tidak diangkat. Mendadak aku menjadi penasaran, maka ku tekan tombol redial. Sekarang telepon diangkat. Ada perasaan lega didadaku. Tapi itu tidak lama, aku mulai khawatir saat kudengar bukan suara papa. "Hallo" kataku dengan tenang dan khawatir tidak ada yang menjawab. "Hallo Papa" teriakku. Lalu suara berikutnya yang kudengar adalah suara lelaki yang mengatakan "ini telepon dari anaknya" "sudah tutup saja" kata suara lelaki lain. "Hallo ini siapa ? Papa mana? Papa! Papa!" teriakku semakin keras. Lalu teleponnya terputus lagi, Aku mencoba menghubunginya lagi,sementara aku hiraukan omongan Mama yang bertanya-tanya kepadaku. Dan saat ini telepon yang tersambung ke voice mail. Bukan pertanda baik. Ketukan pintu membuat aku kaget, dengan setengah berlari mama membukakan pintu dan aku mengikuti Mama dari belakang. Kulihat tante Santi dan nenek. Seketika nenek merangkul mama. "Ada apa Bu?" Mama menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya. "Sebenarnya ada apasih tante?" saat ini aku bertanya dengan nada tinggi. Tante Santi membisu dengan raut wajah yang berduka. "Papa kenapa tante?" "Tadi pagi.. saat papa kamu sedang persentasi..your Dad get a heart attack," ucap tante Santi terbata-bata. Bagaikan tersumbar petir aku mendengarnya. Aku berdiri terdiam dan menatap tante Santi. "Sekarang bagaimana keadaan Papa?" tanyaku dengan suara bergetar dan menahan nangis. Tante Santi tidak menjawabku. Dia hanya merangkulku ke dalam pelukannya. Sementara nenek memeluk Mama yang nangis histeris.


Aku berdiri di depan batu nisan, pemakaman telah selesai 2 jam yang lalu, tapi aku masih berdiri sendiri didepan pemakaman Papa. Air mataku terus mengalir, ada penyesalan yang sangat kuat dihati dan pikiranku. Penyesalan seumur hidup akan selalu mengikutiku. Mengapa tidak kuucapkan kalimat itu disaat aku punya banyak kesempatan untuk mengatakannya? Kini semuanya sudah terlambat, sebesar apapun penyesalan itu, tidak akan bisa mengembalikan Papa kesisiku. Sekarang Papa telah tertidur lelap dalam keabadian, damai dalam pelukannya. Permohonan maaf, rasa terimakasih dan kalimat "aku sayang papa" tidak sempat terucap. Aku menghirup napas dalam-dalam, aku mencoba menahan air mata yang mengalir deras lagi. Lalu dengan lembut dan hati-hati kuusap batu nisan dihadapanku yang tertulis nama Papa. Aku berusaha tersenyum dan kukatakan dengan semangat "AKU SAYANG PAPA"


-SAD ENDING-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun