Mohon tunggu...
Ribbi Akram
Ribbi Akram Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hobi saya tidur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penyesalan

27 September 2024   13:35 Diperbarui: 27 September 2024   13:37 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Penyesalan Selalu Datang di Akhir

Di ruang kelas yang mulai sepi. Aku duduk termenung di kursiku. 

Aku menatap kertas ulangan dengan nilai 90 tertera di atasnya. Namun itu tidak membuatku senang. Sebaliknya ada rasa gelisah yang menggelayuri hatiku.

Tiba-tiba suara lembut datang dari sampingku. "Kenapa Ton? Nilaimu kulihat bagus kok. "Tanya Bagas teman sebangku ku. Aku melihat Bagas tanpa berkata apa-apa.

Bagas yang gelisah dengan tatapanku bertanya "Kenapa mu Ton? " Lalu aku menghela nafas panjang. Seakan mencoba menghapus rasa bersalah yang mengganjal. "Bagus sih tapi... rasanya salah aja. "

Bagas menatapku heran. "Salah? Maksudmu?"

Aku mengambil nafas panjang dan membuangnya. Seperti ingin mengumpulkan keberanian untuk mengaku. "Aku nyontek Gas. "

Bagas terdiam sesaat. Menyipitkan matanya seakan ragu akan perkataanku. "Beneran? Kamu nyontek? " Ucapnya setelah itu.

Aku mengangguk pelan. "Iya... Aku lihat jawaban Dito tadi. Soalnya susah banget dan aku panik. Aku cuma mikir 'Aku harus dapet nilai bagus. ' dan tiba-tiba aja aku nyontek jawabannya. "

Bagas terdiam karena ucapanku. Ia tahu bahwa temannya itu bukan tipe orang yang suka nyontek. "Tapi kamu kan biasanya belajar keras. Kenapa kali ini malah nyontek? "

"Aku nggak tahu... Mungkin karena aku takut nggak bisa menyamai nilai ku yang biasanya. Aku takut gagal." Balas ku dengan tampang pasrah ku.

Bagas menatapku dengan simpati. "Tapi Ton menyontek bukan jawaban. Kamu tahu bukan? "

Masih dengan tampang pasrah ku. "Aku tahu dan itu yang bikin aku gelisah sekarang. Aku dapat apa yang kuinginkan. Bukannya senang malah itu membuatku merasa kalah... dari diriku sendiri."

Bagas tersenyum bangga. "Semua orang pernah berbuat salah. Yang penting sekarang kamu tahu itu salah. Kamu nggak akan lakuin itu lagi. Mungkin kamu bisa bilang sama Bu Rina biar kamu lega."

Saran dari Bagas membuatku terdiam. Mengakui perbuatanku di hadapan Bu Rina adalah hal yang sulit. Tapi mungkin itu satu-satunya cara untuk dapat meredakan rasa bersalahnya."

"Bu Rina mungkin marah. Tapi dia juga guru yang baik. Dia pasti lebih menghargai kejujuran daripada menutupi kesalahan." Lanjut Bagas membujuk ku.

Aku mengangguk. "Mungkin kamu benar. Aku harus jujur sama Bu Rina... dan sama diriku sendiri. "

Bagas menyeringai. "Itu baru temanku."

Dengan hati diliputi rasa cemas. Aku berdiri dan melangkah maju menuju meja Bu Rina. Setiap langkahku berat. Tapi hatiku berkata ini adalah jalan yang tepat.

"Buk Rina... " Ucapku ketika sudah berdiri didepan meja guruku.

"Ada apa Toni? " Ucap Bu Rina dengan ramah.

Aku menghela nafas untuk menenangkan jantungku yang berdebar kencang. "Saya... mau ngaku buk. Saya menyontek saat ulangan tadi... "

Ruangan seakan sunyi. Bu Rina tidak berbicara beberapa detik. Aku menundukkan kepalaku. Bersiap menerima konsekuensi atas perbuatanku.

Namun yang terdengar hanyalah suara lembut Bu Rina. "Saya senang kamu mau jujur, Tono. Itu lebih penting dari apapun. Kesalahan bisa diperbaiki tetapi kejujuran adalah kualitas yang harus selalu kamu jaga."

"Ibuk... Nggak marah? " Hanya itu yang dapat aku keluarkan karena terkejut.

Bu Rina tersenyum lembut. "Tentu saja saya kecewa karena kamu menyontek. Tapi saya lebih menghargai kejujuranmu. Kita akan bicarakan ini lebih lanjut. Tapi yang penting kamu sudah melakukan hal yang benar dengan mengaku.

Aku merasa lebih lega. Meski kesalahannya belum terselesaikan. Ada beban yang hilang dari dadanya. Aku belajar bahwa kejujuran adalah harta yang lebih berharga daripada apapun.

Aku duduk dengan perasaan lebih ringan. Bagas yang melihat itu juga tersenyum melihatnya. Hari itu aku belajar sebuah pelajaran penting. Bukan dari buku melainkan dari diriku sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun