Maksudnya, dengan dukungan laki-laki yang melek gender maka perempuan tak lagi dipandang sebagai hanya sekedar konsumen pemakai energi.Â
Hal ini penting karena Indonesia memiliki potensi energi baru dan terbarukan (EBT) sangat besar, beragam, dan tersebar di sejumlah.Â
Tentu saja, dengan pengelolaan yang baik maka EBT ini akan berdampak dan ujungnya akan memberi pengaruh pada ketahanan pangan, yang lagi-lagi akan berpusat pada kaum perempuan.Â
Potensi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) ini antara lain adanya potensi energi tenaga surya, potensi hidro yang tersebar di seluruh Indonesia, hingga panas bumi.Â
Belum lagi potensi angin, Â laut, hingga batu bara. Masih ada lagi potensi besar yang dimiliki Indonesia, yakni Bioenergi.Â
Di Indonesia,kebikakan mengenai EBT pun hadir. Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional menyebutkan, target bauran energi baru dan terbarukan pada tahun 2025 paling sedikit 23% dan 31% pada tahun 2050.Â
Dalam peraturan pemerintah No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik dalam mempercepat transisi energi bersih. Operasional PLTU batu bara pada 2030 dihentikan
Namun tentu saja transisi energi tidaklah mudah. Terdapat sejumlah tantangan terhadap akses energi bersih yang dinilai  murah, terjangkau dan andal.Â
Ya, setidaknya bagi kelompok perempuan dan masyarakat rentan lainnya.Â
Keterlibatan lembaga yang berfokus pada pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan hak-haknya sangat membantu.Â
Melalui pengarusutamaan Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI), Oxfam hadir mendorong dan mengupayakan agar transisi energi tidak menimbulkan dampak negatif bagi perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya