Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Nostalgila Mudik, di Atas Kereta Api Tak Berkutik

12 April 2023   23:53 Diperbarui: 12 April 2023   23:55 1488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perlu strategi jitu. Strategi satu, begitu kereta datang, langsung lari ke pintu. Biar kebagian tempat masuk ke dalam kereta, segera masuk pas kereta datang. Nggak kepikir lagi ada yang masih belum turun. Mau bagaimana lagi soalnya, daripada nggak bisa masuk ke dalam kereta.

Jadi gini caranya, satu kaki langsung naik ke atas tangga kereta, tangan angkat tas dan, satu kaki kemudian menyusul. Lalu, dorong... dorong... dorong.... Adik yang jadi teman bareng pulang kampung, memegangi bagian belakang baju supaya nggak terpisah.

Fuih, sampai juga di atas kereta. Titik-titik keringat menyembul di dahi. Baju sedikit basah, terutama di ketiak. Alamak, seperti kereta habis perang. Sampah kertas koran dimana-mana.

Nggak apa-apa, sebagai penumpang tanpa tempat duduk, untungnya tadi juga sudah beli juga kertas koran. Nanti saat kereta mulai jalah, mulai deh bikin gelaran koran buat duduk dan tidur. Dilangkahin orang, ah sudahlah biarkan saja. Cuma setahun sekali.

Udara dalam kereta panas. Kipas plastik, kipas kertas, sampai kipas anyaman bambu untuk bakar sate dikibas-kibas. Namun, orang-orang mulai terkantuk-kantuk saat kereta api mulai berjalan. Dani pun begitu. Nggak lama, ada yang mencolek-coleknya. Antara masih setengah sadar dalam mimpi, terdengar nyanyian dan orang bermain gitar.  

Colekan di punggung tangannya terasa lagi. Apaan, ini? Matanya membuka. Sebuah bungkus permen disodorkan kepadanya oleh seseorang yang menunggu. Lha, dia nggak mau pergi. Dani merogoh saku celananya. Untunglah ada duit seribuan. Orang yang mencoleknya itu pergi. Ini jadi strategi kedua saat itu, banyakin uang receh selipan, masih ada beberapa colekan lainnya sebelum sampai ke stasiun tujuan.

Mudik pakai kereta di zaman dulu ada asyiknya juga. Banyak pedagang menjual makanan hilir mudik. “Nasi rames, nasi rames. Nasi ayam, nasi ayam. Pecel, lontong,pecel lontong,” terdengar bersahut-sahutan.

Minuman, juga nggak kurang-kurang beragam. “Kopi...kopi,teh... teh.. aq**a...,aq**a...semprit..., mezon...,” juga nggak henti-henti. Nggak bakalan akan kelaparan di atas kereta selama menuju stasiun tujuan pulang kampung. Nggak bawa bekal makanan, cuma mengandalkan makanan di atas kereta sudah kenyang.

Dani terkantuk-kantuk. Malam mulai larut. Perut yang terisi kenyang mulai membuainya terkantuk-kantuk  ke alam mimpi. Diliriknya Dini juga, sudah mulai terlelap dengan kepala bersandarkan tas jinjing. Guncangan laju kereta terasa seperti alunan merdu.

Tiba-tiba, Dani kembali merasa punggung tangannya dicolek-colek lagi. Matanya membuka perlahan. Dilihatnya Dini memandangnya memelas.”Mau pipis,” katanya. Dani melihat sekelilingnya. Jalan antara tempat duduk penuh orang yang tidur dan terkantuk-kantuk. Ada sebuah kecoa terbang. WC-nya dimana?  

“Ya sudah sana ke WC. Hati-hati jangan sampai nginjak orang,” pesan Dani yang masih terkantuk. Nggak lama kemudian, ada colekan di punggung tangannya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun