Beberapa bungkus plastik peyek dan sejumlah risoles tiba-tiba sudah ada di meja ruang tamu. Beberapa menit lagi adzan Maghrib penanda buka puasa. Seorang perempuan berambut pendek membawa tas di kedua tangannya baru saja berlalu dari pintu pagar rumah.
“Ibu beli peyek lagi?” spontan itu yang terucap. Agak bingung. Cukup sering ibu membeli berbungkus-bungkus peyek. Kali ini plus dengan risoles. Ibu tersenyum. “Buat buka puasa. Nanti jadi teman minum teh panas manis,” kata Ibu.
Aku memandang beberapa bungkus peyek dan tumpukan risoles di piring. Ibu selalu begitu. Suatu hal yang terkadang menurutku terlalu berlebihan dan tak perlu untuk membelinya.
”Ini risoles mayo. Itu yang ada saos putihnya. Kata Ling Ling, enak. Ada sosisnya juga. Kamu suka, kan?” ucap Ibu.
Aku memandang risoles-risoles itu. Dengan harga Rp.3500, rasa risoles itu memang lumayan meski tak bisa dibilang enak sesuai dengan seleraku. Sosis yang katanya ada di dalam risoles pun hanya sedikit dan sangat tipis.Sejujurnya, aku tak terlalu suka.
Sementara, dalam satu bungkus peyek bungkus plastik putih sepertinya berisi sekitar lima buah peyek saja. Sulit menghitungnya pasti karena biasanya bercampur peyek yang patah-patah. Harganya dijual Rp.7.000 per bungkus. Soal ukuran gram dalam bungkusan peyek jelas tidak tahu, entahlah namanya juga hasil usaha rumahan.
Menurutku, Ling Ling cukup lihai menjual.Tadinya, mungkin ibu tak ingin membeli risoles. Namun Ling Ling menarwarkan harga diskon. Kalau beli 3 buah risoles nanti bisa beli lebih murah. Bayarnya cukup Rp.10.000 untuk tiga risoles. Ujungnya, ibu akhirnya pasti membeli.
Ling Ling, perempuan yang sudah puluhan tahun beredar sebagai penjual berbagai kue-kue dan peyek di perumahan kami. Dia setiap hari berkeliling menawarkan dari rumah ke rumah menawarkan dagangannya. Dia tinggal tidak jauh dari perumah bersama keluarganya, suami dan anak-anaknya di rumah kontrakan yang dekat dengan Kali Grogol.
Itulah yang dilakukannya tahun demi tahun, belasan tahun, hingga puluhan tahun. Ling Ling tidak membuatnya sendiri. Dia hanya mengambil dari orang lain dan kemudian menjualnya ke perumahan-perumahan yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Ramadan ini pun begitu. Siang hari sekitar pukul 13.00, dia mulai mendatangi satu per satu rumah. “Ibu..., Ibu...,” panggilnya. Dia ada di depan pintu pagar menunggu. Aku langsung menyergah ibu yang akan menghampiri. “Peyek yang kemarin masih ada belum habis dimakan. Nggak usah beli lagi,” kataku pada ibu.
Ibu mengangguk.”Peyeknya masih ada, Ling. Nggak beli dulu,” kata Ibu. Ling Ling masih tetap berdiri. “Ibu mau pesan kue-kue basah buat buka puasa, nggak?” tanyanya.
Aku perhatikan, perempuan itu hanya membawa catatan. Tidak membawa keranjang berisi makanan di tangan kiri dan tangan kanannya. Ling Ling menawarkan kalau mau membali kue-kue basah, dia akan mencarikannya dan mengantarkan ke rumah sebelum waktu berbuka puasa.
Ling Ling pun berlalu. Tiba-tiba saja aku menganggumi strateginya berjualan. Kegigihannya untuk mendapatkan nafkah untuk diri dan keluarganya. Ibu bercerita, Ling Ling bilang kalau dari setiap bungkus peyek yang dijual Rp.7.000, keuntungan yang diambilnya sebesar Rp.1000. Jadi, kalau terjual beberapa bungkus peyek, Ling Ling sudah senang. Sudah tenang karena sudah ada uang yang cukup untuk membeli beras.
Peyek-peyek yang dijualnya diambil dari seorang nenek yang membuat dan menggorengnya sendiri.
“Maaf bu, datangnya . Itu, yang bikin peyek sudah nenek-nenek. Jadi lama deh,”pernah kudengar kata Ling Ling suatu waktu pada ibu.
Aku memandang ibu. “Dia sudah biasa dibeli jualannya. Nggak tega juga kalau ada yang dibeli. Apalagi sekarang bulan puasa,” kata Ibu.
“Emangnya, Ling Ling Puasa?” tanyaku. Ibu langsung menjawab kalau Ling Ling beragama Islam dan juga berpuasa dari dulu. Sejak ibu mengenalnya mulai berkeliling komplek perumahan sambil mendorong sebuah gerobak seadanya dan membawa kue-kue untuk dijual. Saat itu, anaknya diletakkan di atas gerobak sambil ibunya berjualan. Sekarang anak-anak Ling Ling sudah besar. Bahkan, sudah ada yang tamat SMA meski Ling Ling tetap berjualan dengan cara dan hal yang sama.
“Ling Ling itu dulu waktu anaknya masih kecil ditaruh di atas gerobak yang didorong, terus keliling-keliling jualan kue,”kata ibu.
Aku terdiam. Dari halaman rumahku yang posisinya agak tinggi, aku masih melihat Ling Ling menawarkan dagangannya ke tetangga-tetangga. Tangan kiri dan tangan kanannya membawa dua kantung plastik besar. Nada suaranya yang ceria saat menawarkan terdengar.Sebuah kegigihan hidup seorang perempuan. Tubuh Ling Ling yang menua terlihat dari belakang. Jalannya tampak sudah tak seimbang. Mungkin karena beban barang jualan yang sering dibawanya di satu sisi tubuh.
“Ibu bisanya cuma ini buat bantu dia. Sedikit berbagi. Lagipula, peyek-peyeknya kan bisa buat lauk makan nasi. Dimakan nggak pakai apa-apa, juga boleh,” ucap ibu yang membuat aku semakin terdiam.
Adzan Maghrib penanda buka puasa terdengar. Tanpa banyak komentar, kuambil dan kugigit sebuah risoles yang tadinya kuprotes telah dibeli. Peyek-peyek pun segera kutempatkan di sebuah wadah. Akan kumakan nanti setelahnya.
Terkadang, membeli sesuatu bukanlah harus karena benar-benar karena menginginkan sesuatu. Bukan juga karena sebuah rasa makanan yang luar biasa atau dijual di sebuah tempat yang berkelas.
Berbagi kepada sesama, menjadi kunci yang secara tak sengaja ibu sampaikan dan ibu ajarkan.Tidak perlu diberikan kepada yang jauh-jauh. Jika ada, prioritaskan yang di depan mata.Apalagi di bulan suci seperti ramadan.
Di luar sana, banyak orang yang merelakan hartanya bankan untuk berderma besar-besara ataupun mewakafkan tanahnya untuk membangun rumah ibadah. Aku menghela napas, sambil berucap dalam hati,”Aku masih harus belajar lebih banyak lagi tentang berbagi.”
---Jakarta,dhu090423---
#samber2023hari9
#kisahinspiratif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H