Sudarto dan perawat Widya sempat harus terpisah dari pasukannya akibat peristiwa itu. TNI saat itu memang hanya pernah mendengar DI/TII tapi tidak begitu mengetahui seperti apa wujudnya.
Bernyanyi untuk Menghibur Hati
Long March dari Yogyakarta ke Bandung yang tidak mudah. Mereka harus berjalan kaki membawa bekal. Harus berlindung dalam hutan agar aman dan berangkat subuh gelap untuk menempuh perjalanan yang semakin sulit karena masuk ke daerah yang dikuasai musuh.
Semua perjalanan juga dilakukan saat malam hari yang suasananya gelap. Perjalanan siang hari lebih mudah dan risiko tercerai berai dapat dihindari. Hanya saja, itupun tak mudah karena bisa terjebak dalam pertempuran.
Mereka melewati Candi Galuh, Kali Serayu, Gunung Slamet, lalu menyusup ke Bumiayu. Setelah itu dari Prupuk sepanjang garis Tasikmalaya. Jarak yang ditempuh dan tidak ada kepastian hari ini, besok, dan hari depan terkadang membuat semangat menjadi kendor dan muka cerah berubah suram. Untuk menyemangati long march, bernyanyi merupakan langkah terbaik yang dilakukan.
Bandung rebut, Bandung Kembali. Janji Kita Setiap Hari. Janganlah mundur, tetap tepati. Sampai kita bekerja kembaliÂ
Lewat berbalas pantun dan menari mengikuti irama, para tentara ini menyuarakan rasa harinya dengan lagu "Rasa Sayange".
Rasa Sayange… Rasa Sayang-Sayange…ee lihat dari jauh rasa sayang-sayange. Burung pipit terbang melayang. Hinggap pada dahan kelapa. Hati saya sekarang melayang ingat nona di Yogyakarta.
Gadis Jerman dan Perawat Cantik
Long march Siliwangi dari Yogyakarta ke Bandung, tak hanya menghadirkan kisah perjuangan melainkan sisi kehidupan seorang anak manusia. Sosok Sudarto yang komandan batalyon dikesankan tidak tegas.
Rasa kesepian yang dialami Sudarto membuatnya mendekati dua gadis, yakni Connie gadis Indo Jerman dan perawat Widya yang membantu korban sakit dan terluka selama long march . Padahal, Sudarto lelaki beristri.Â