Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Ini yang Harus Diketahui dari Long March Siliwangi dalam Film "Darah dan Doa"

2 April 2022   18:28 Diperbarui: 3 April 2022   18:10 2119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Darah dan Doa (Gambar: jakarta-tourism.go.id)

Kulihat prajurit TNI sedang bersusah hati 

Air matanya berlinang karena tak ada nasi

Seorang prajurit TNI Divisi Siliwangi menyanyikan lagu bernada Ibu Pertiwi dengan lirik untuk menggoda teman-temannya. Salah seorang yang lainnya memukul-mukul wadah sambil berkata, ”Nasi… Nasi…”

Segera temannya yang lain menyergah,” Mengganggu orang yang sedang lapar,” katanya.

Kelaparan, kehabisan persediaan makanan, menipisnya obat, dan berkurangnya peluru dialami oleh para prajurit Divisi Siliwangi saat melakukan long march alias perjalanan panjang dari Yogyakarta menuju Jawa Barat.

Banyak hal yang dihadapi. Lapar membuat rebutan makan singkong hingga bercandaan keinginan menyantap sate kambing di Tanah Abang. Selain itu, ada prajurit yang terluka, menjalani amputasi, dan terpaksa gugur. Sebagian prajurit juga harus menanggung anak dan istri yang tidak rela ditinggalkan tapi menjadi beban karena mudah panik.

Dalam perjalanan itu, ada saja perempuan yang melahirkan ataupun jatuh dari bukit kemudian meninggal dunia. Semua itu terekam dalam film "Darah dan Doa" karya Usmar Ismail, yang dibuat pada tahun 1950 .Film yang memang khusus mengisahkan long march divisi Siliwangi, Jawa Barat.

"Darah dan Doa" merupakan sebuah film istimewa karena dibuat saat negara Indonesia masih bergejolak. Hari pertama pengambilan gambar film Darah dan Doa, yakni setiap tanggal 30 Maret lalu diperingati sebagai hari film nasional yang diperingati di seluruh negeri. Divisi Siliwangi mendukung penuh pembuatan film hitam putih tersebut.

Darah dan Doa (gambar:tribunnews.com)
Darah dan Doa (gambar:tribunnews.com)

Tak Hanya Penjajah, Berhadapan dengan Saudara Sebangsa

Perjalanan para prajurit Divisi Siliwangi dari Yogyakarta dan Jawa Tengah menuju Jawa Barat dalam Darah dan Doa digambarkan tidaklah mulus, seperti keadaan sebenarnya negara Indonesia yang masih mengalami revolusi 5 tahun setelah memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Tak hanya penjajah, Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus berhadapan dengan bangsa sendiri dalam balutan DI/TII dan PKI. Hal inilah yang lantas menjadikan film ini menarik lantaran tak hanya mengisahkan perjalanan pasukan TNI, tapi juga kisah perjalanan hidup manusia dalam revolusi.

Dua orang teman seperjuangan, yakni Kepala Batalyon Kapten Sudarto (Del Juzar) dan Kepala Staf Kapten Adam, harus mengalami peristiwa yang paling menyedihkan untuk bangsa Indonesia selama revolusi 5 tahun, yakni pada September 1948.

Sebuah kisah yang penuh darah dan air mata, tetapi sekaligus menimbullkan harapan dan doa yang tak pernah henti. Film Darah dan Doa sendiri diawali dengan pertempuran bersenjata antara TNI dengan PKI.

Dalam keadaan terdesak, Karseno dan anak buahnya, yang merupakan anggota PKI menyerah karena mengenal baik Sudarto saat di Tanah Tinggi. Mereka pun mengibarkan bendera putih setelah dari kejauhan, Sudarto berteriak mengatakan tidak akan melakukan apapun.

Namun sayangnya, seorang anak buah Sudarto bernama Mula menembak sehingga para anggota PKI yang menyerah ini pun tewas. Peristiwa ini akan memicu pertempuran panjang antara TNI dan PKI.

Sudarto marah pada Mula dan memindahkannya ke bagian admistrasi karena tak ingin TNI digunakan sebagai alat balas dendam pribadi pengalaman buruk. Namun bagi Adam, yang dilakukan Sudarto terlalu berlebihan.

 (gambar:jakarta-tourism.go.id)
 (gambar:jakarta-tourism.go.id)

Teman Membunuh Teman, Anak Membunuh Orang Tua

Dalam sebuah revolusi, menurut Adam, suatu hal yang biasa jika teman membunuh teman ataupun saudara membunuh saudara. Meski begitu, tetap saja hati Sudarto agak sulit menerima harus berhadapan dan berperang melawan bangsa sendiri.

Semboyan revolusi adalah hancur atau menghancurkan. Tidak ada jalan lain. Kenyataan ini memang tak bisa dihindari saat TNI menangkap warga desa pendukung tentara Belanda KNIL bernama Kancil, yang ternyata ayah dari Sersan Sumbawa. Dengan senjatanya, Sumbawa menembak mati ayahnya yang telah berkhianat kepada bangsa. Seorang anak harus membunuh ayahnya sendiri.

Begitupun halnya saat sedang kehabisan persediaan makanan, pasukan TNI pimpinan Sudarto awalnya merasa diterima dengan baik oleh penduduk sebuah desa karena dijamu makan.

Kenyataannya, justru masuk dalam perangkap dan desa sarang DI/TII yang ingin mendirikan negara Islam. Saat tengah terlelap, DI/TII menembaki para TNI sehingga menimbulkan korban jiwa.

Sudarto dan perawat Widya sempat harus terpisah dari pasukannya akibat peristiwa itu. TNI saat itu memang hanya pernah mendengar DI/TII tapi tidak begitu mengetahui seperti apa wujudnya.

 (gambar:jakarta-tourism.go.id)
 (gambar:jakarta-tourism.go.id)

Bernyanyi untuk Menghibur Hati

Long March dari Yogyakarta ke Bandung yang tidak mudah. Mereka harus berjalan kaki membawa bekal. Harus berlindung dalam hutan agar aman dan berangkat subuh gelap untuk menempuh perjalanan yang semakin sulit karena masuk ke daerah yang dikuasai musuh.

Semua perjalanan juga dilakukan saat malam hari yang suasananya gelap. Perjalanan siang hari lebih mudah dan risiko tercerai berai dapat dihindari. Hanya saja, itupun tak mudah karena bisa terjebak dalam pertempuran.

Mereka melewati Candi Galuh, Kali Serayu, Gunung Slamet, lalu menyusup ke Bumiayu. Setelah itu dari Prupuk sepanjang garis Tasikmalaya. Jarak yang ditempuh dan tidak ada kepastian hari ini, besok, dan hari depan terkadang membuat semangat menjadi kendor dan muka cerah berubah suram. Untuk menyemangati long march, bernyanyi merupakan langkah terbaik yang dilakukan.

Bandung rebut, Bandung Kembali. Janji Kita Setiap Hari. Janganlah mundur, tetap tepati. Sampai kita bekerja kembali 

Lewat berbalas pantun dan menari mengikuti irama, para tentara ini menyuarakan rasa harinya dengan lagu "Rasa Sayange".

Rasa Sayange… Rasa Sayang-Sayange…ee lihat dari jauh rasa sayang-sayange. Burung pipit terbang melayang. Hinggap pada dahan kelapa. Hati saya sekarang melayang ingat nona di Yogyakarta.

(Gambar: Kompas.com)
(Gambar: Kompas.com)

Gadis Jerman dan Perawat Cantik

Long march Siliwangi dari Yogyakarta ke Bandung, tak hanya menghadirkan kisah perjuangan melainkan sisi kehidupan seorang anak manusia. Sosok Sudarto yang komandan batalyon dikesankan tidak tegas.

Rasa kesepian yang dialami Sudarto membuatnya mendekati dua gadis, yakni Connie gadis Indo Jerman dan perawat Widya yang membantu korban sakit dan terluka selama long march . Padahal, Sudarto lelaki beristri. 

Penderitan yang harus dialami membuat perasaan tak terkendali. Tak pelak, Sudarto kerap menjadi buah bibir anak buahnya. Kepala staf Kapten Adam secara terang-terangan menunjukkan sikap tidak menyukai tindakan Sudarto sehingga melaporkannya.

Kisah yang memilukan. Darah memang harus tumpah. Perawat Widya dan Kapten Adam akhirnya mati tertembak saat pertempuran. Sudarto yang baru saja bebas dari tawanan pemerintah Belanda saat akan mengambil senjata, akhirnya pun tewas ditembak oleh anggota PKI. Namun, doa teriringi untuk para prajurit yang gugur dan bendera Indonesia terus berkibar hingga kini.

Usmar Ismalil (sumber:Kompas.com)
Usmar Ismalil (sumber:Kompas.com)

Darah dan Doa, Film Nasional Pertama yang Luar Biasa

Rasa kagum hadir saat menyaksikan pertama kali film Darah dan Doa yang merupakan film nasional pertama, bersama teman-teman komunitas penulis dan pecinta film Kompasiana, Sabtu 26 Maret 2022 di Museum Penerangan (Muspen) Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Betapa hebatnya film yang dibuat kala Indonesia masih dalam gejolak revolusi. Keren sekali, tepat 72 tahun yang lalu Usmar Ismail yang baru saja berulang tahun ke-29 pada 20 Maret, mengambil gambar pertamanya pada 30 Maret 1950 dan berhasil memproduksi film “Darah dan Doa” melalui Persatuan Film Nasional Indonesia (Perfini).

Dokumentasi Windhu
Dokumentasi Windhu

Sangat pantas jika Usmar Ismail dianugerahi pahlawan nasional dan bapak perfilman pada tahun 2021. Sebagai orang Indonesia pertama yang membuat film pertama, yang dilakukannya telah membuka jalan bagi kebangkitan perfilman Indonesia dan menjadi contoh bagi generasi muda Indonesia untuk berkarya di bidang film dan lainnya.

Kehadiran anak dan cucu Usmar Ismail semakin mengenalkan pada sosok Usmar Ismail. Nureddin Ismail, anak tertua Usmar Ismail mengenang ayahnya sebagai sosok ayah yang baik dan serba bisa. “Rasanya malu juga karena mereka yang terlibat dalam lagu dan film perjuangan masih berusia 20 tahunan,” kata Nureddin.

Kamera Usmar Ismail (Dokumentasi Windhu)
Kamera Usmar Ismail (Dokumentasi Windhu)

Pembuatan film Darah dan Doa sempat kesulitan modal dan alat produksi. Namun dukungan penuh diberikan Divisi 3 Siliwangi Jawa Barat karena mengisahkan long march Divisi Siliwangi yang dilakukan menyusul batalnya perjanjian Renville, akibat agresi militer Belanda ke Yogyakarta tahun 1948.

Divisi 3 Siliwangi menyediakan senjata-senjata dan tentara untuk membantu pembuatan film. Menurut Badai Saelan, cucu Usmar Ismail, dalam membuat “Darah dan Doa”, Usmar Ismail mengedepankan sisi ideologi dan bukan komersil.

Para komiker, termasuk saya sangat antusias dengan film ini. Walaupun film perjuangan, tak melulu pertempuran tembak menembak. Ada sisi lain manusiawi Kapten Sudarto dan lagu-lagu yang ternyata sudah dikenal sejak dulu, seperti "Rasa Sayang-Sayange." 

Sudut Film Usmar Ismail (Dokumentasi Windhu)
Sudut Film Usmar Ismail (Dokumentasi Windhu)

Koleksi Film di Museum Penerangan

Semakin lengkap rasanya saat tur Museum Penerangan yang dipandu Deyan Aji Putra, saya mengetahui ada bagian film, khususnya karya Usmar Ismail. Hal yang paling menarik adalah kamera film yang digunakan dalam pembuatan film Darah dan Doa, yang merupakan film nasional pertama.

Kamera yang digunakan di lapangan ataupun studio oleh Perusahaan Film Negara dalam memproduksi film sejak tahun 1950 sampai dengan tahun 1960. Kamera bermerk Eclair Cameflex ini mempunyai berat 12 kg dan dimensinya 44 x 24 x 35 cm.

 Ada juga jas berwarna hitam dan film yang dulunya digunakan oleh Usmar Ismail untuk memproduksi film. Jumlah karya filmnya sangat banyak meski saat ini belum seluruhnya bisa direstorasi karena terkendala biaya.

Sejarah film ada di Museum Penerangan (Dokumentasi Windhu)
Sejarah film ada di Museum Penerangan (Dokumentasi Windhu)

Selain Darah dan Doa, sejumlah film Usmar Ismail yang sangat dikenal masyarakat antara lain adalah Tiga Dara, Enam Jam di Jogja, Harimau Tjampa, Krisis, Dosa Tak Berampun, Kafedo, Lewat Jam Malam, yang keseluruhanya diproduksi pada tahun 1950-an. n

Usmar Ismail terus berkarya sebagai sutradara dan produser film hingga tahun 70-an sebelum meninggal dunia  tahun 1971. Saya jadi ingin menonton semua film karya Usmar Ismail. Kalian juga, ya!

Kunjungi Muspen agar tahu jejak film di Indonesia. Oh ya, Muspen yang buka tiap hari dan gratis ini memiliki total 495 koleksi berupa perkembangan film, radio, televisi, pers dan grafika, serta penerangan umum.

Nobar Komik Darah dan Doa (Komik) 
Nobar Komik Darah dan Doa (Komik) 

***

Jakarta,dhu020422

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun