Tak hanya penjajah, Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus berhadapan dengan bangsa sendiri dalam balutan DI/TII dan PKI. Hal inilah yang lantas menjadikan film ini menarik lantaran tak hanya mengisahkan perjalanan pasukan TNI, tapi juga kisah perjalanan hidup manusia dalam revolusi.
Dua orang teman seperjuangan, yakni Kepala Batalyon Kapten Sudarto (Del Juzar) dan Kepala Staf Kapten Adam, harus mengalami peristiwa yang paling menyedihkan untuk bangsa Indonesia selama revolusi 5 tahun, yakni pada September 1948.
Sebuah kisah yang penuh darah dan air mata, tetapi sekaligus menimbullkan harapan dan doa yang tak pernah henti. Film Darah dan Doa sendiri diawali dengan pertempuran bersenjata antara TNI dengan PKI.
Dalam keadaan terdesak, Karseno dan anak buahnya, yang merupakan anggota PKI menyerah karena mengenal baik Sudarto saat di Tanah Tinggi. Mereka pun mengibarkan bendera putih setelah dari kejauhan, Sudarto berteriak mengatakan tidak akan melakukan apapun.
Namun sayangnya, seorang anak buah Sudarto bernama Mula menembak sehingga para anggota PKI yang menyerah ini pun tewas. Peristiwa ini akan memicu pertempuran panjang antara TNI dan PKI.
Sudarto marah pada Mula dan memindahkannya ke bagian admistrasi karena tak ingin TNI digunakan sebagai alat balas dendam pribadi pengalaman buruk. Namun bagi Adam, yang dilakukan Sudarto terlalu berlebihan.
Teman Membunuh Teman, Anak Membunuh Orang Tua
Dalam sebuah revolusi, menurut Adam, suatu hal yang biasa jika teman membunuh teman ataupun saudara membunuh saudara. Meski begitu, tetap saja hati Sudarto agak sulit menerima harus berhadapan dan berperang melawan bangsa sendiri.
Semboyan revolusi adalah hancur atau menghancurkan. Tidak ada jalan lain. Kenyataan ini memang tak bisa dihindari saat TNI menangkap warga desa pendukung tentara Belanda KNIL bernama Kancil, yang ternyata ayah dari Sersan Sumbawa. Dengan senjatanya, Sumbawa menembak mati ayahnya yang telah berkhianat kepada bangsa. Seorang anak harus membunuh ayahnya sendiri.
Begitupun halnya saat sedang kehabisan persediaan makanan, pasukan TNI pimpinan Sudarto awalnya merasa diterima dengan baik oleh penduduk sebuah desa karena dijamu makan.
Kenyataannya, justru masuk dalam perangkap dan desa sarang DI/TII yang ingin mendirikan negara Islam. Saat tengah terlelap, DI/TII menembaki para TNI sehingga menimbulkan korban jiwa.