Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mau Tahu Pasangan Kamu Toxic atau Gak? Begini Cara Mengenalinya!

25 Maret 2022   12:08 Diperbarui: 25 Maret 2022   20:01 1995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan itu tak pernah menduga. Lelaki yang menjadi pasangan hidupnya selalu berusaha membatasi gerak langkahnya. 

Seandainya melakukan sesuatu yang kelihatannya menggembirakan hati, pasangan itu seakan tidak terima. Terkadang, mengucapkan kata-kata kasar.

Meski demikian, awalnya sebagai perempuan dia tidak tahu jika hal yang dilakukan pasangan hidupnya termasuk salah satu tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pernah, bahkan saat sedang mengandung buah hati, dia sempat didiamkan selama berminggu-minggu.

Tentu saja, perasaan tak nyaman muncul. Perasaan menjadi tertekan. Sedih hati dan terhina pun hadir. Meski demikian, sebagai pasangan yang baik, perempuan ini justru meminta maaf agar emosi marah tak berkepanjangan kala itu.

Bagaimana hal ini bisa muncul? Ke manakah harus bicara dan mengambil tindakan saat itu terjadi? 

"Saya dulu awam. Nggak melihat itu KDRT," kata Maria G. Soemitro, anggota Ladiesiana, Komunitas Perempuan di Kompasiana dalam Opini Komunitas bertema Pasangan Kamu Toxic, Gak? (Kamis 24 Maret 2022).

Ditayangkan secara streaming, Opini Komunitas yang dipandu News Anchor Kompas TV Audrey Chandra juga menghadirkan Gita Yolanda Psikolog Klinis dan Founder (@temanbincang.id).

Hidup berpasangan. Hidup berumah tangga tak selalu seindah romantisme tayangan drama korea (drakor). Drama dalam rumah tangga yang harus dihadapi dan dialami hari demi hari belum tentu membawa kebahagiaan. Ada yang membuat perasaan hati tertekan dan mengganggu kesehatan jiwa. Semua itu disebabkan pasangan toxic. 

Opini Komunitas ladiesiana dan Teman Bincang (sumber gambar: tangkap layar youtube Kompasiana)
Opini Komunitas ladiesiana dan Teman Bincang (sumber gambar: tangkap layar youtube Kompasiana)

Mengenali Pasangan Toxic

Toxic relationship merupakan hubungan beracun yang tidak menyenangkan dan bisa menyakiti jika terus menerus dibiarkan. Menjalani hubungan dengan pasangan toxic tidak akan membawa kebahagiaan.

Yang muncul, justru perasaan tertekan, takut, cemas dan gelisah dalam membina hubungan. Jika berlangsung terus dapat menimbulkan masalah kejiwaan yang membutuhkan bantuan dari psikolog atau psikiater, yang tidak bisa diselesaikan sendiri oleh korbannya.

Gita Yolanda, Psikolog Klinis dan Founder (@temanbincang.id) mengatakan, seseorang harus tahu dulu yang dimaksud dengan pasangan toxic. 

"Pasangan yang toxic atau pasangan yang bisa melakukan kekerasan dapat terjadi pada siapa saja. Tidak mengenal suku, tidak mengenal pendidikan, dan tidak mengenal ekonomi," tutur  Gita.  

Menurut Gita, beberapa kekerasan memang muncul pada awal-awal menjalin sebuah hubungan sehingga yang mengalaminya bisa tahu. Namun, ada yang membutuhkan waktu beberapa bulan baru mengetahuinya. Bahkan, ada yang baru beberapa tahun kemudian muncul.

Ilustrasi pasangan toxic (windhu/olahcanva)
Ilustrasi pasangan toxic (windhu/olahcanva)

Meski demikian, kata Gita, sebenarnya seseorang bisa melakukan tindakan kekerasan ada tanda-tandanya. Bisa diperhatikan warning sign-nya. Dapat dicermati tanda bahayanya. Sejak masih menjalin hubungan pacaran dan belum memasuki jenjang rumah tangga, hal itu sebenarnya sudah bisa terlihat.

"Hal itu bisa dilihat dari refleks. Langkah pertama yang harus dilakukan untuk menghindari hubungan yang toxic atau berujung pada KDRT, ada tanda-tandanya," ujar Gita.

 Contoh tanda-tanda pasangan toxic adalah:

  1. Dia cemburu kalau kamu menghabiskan waktu dengan teman-temanmu atau keluargamu. Padahal ini adalah suatu yang wajar.
  2. Dia membuat kamu selalu merasa bersalah ketika kamu nggak bisa nemenin dia atau nggak bisa menghabiskan waktu bersama dia.     Padahal kamu punya alasan yang rasional. Misalnya, kamu harus kuliah atau ada acara keluarga.
  3. Dia cenderung bisa mengontrol keputusan-keputusan dalam hidup kamu. Misalnya, mengontrol seputar keuangan atau masa depan.
  4. Saat pacaran, dia sering membuatmu merasa bersalah atas permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam suatu hubungan
  5. Dia mempermalukanmu di depan umum
  6. Ketika marah, dia merusak barang-barang. Bahkan berkata-kata kasar sama kamu.
  7. Mengancam, memaksa yang tidak kamu mau. Bahkan bisa memaksa melakukan hubungan seksual.

Semua hal ini sudah merupakan warning sign-nya. Saat menjadi sepasang kekasih, umumnya timbul rasa ingin selalu berdekatan. Namun karena terlalu cinta, terkadang hal-hal negatif ketika berpacaran tidak terlihat. Padahal kalau sedikit timbul nggak nyaman dan merasa ada keraguan, sebaiknya jangan diabaikan. Segeralah minta pendapat teman dan keluarga akan lebih rasional dibandingkan dengan yang sedang dimabuk cinta.

Ilustrasi KDRT (sumber gambar: BBC via Kompas.com)
Ilustrasi KDRT (sumber gambar: BBC via Kompas.com)

KDRT Tak Cuma Fisik

Pasangan toxic memicu pada KDRT. Sayangnya, banyak korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak menyadari jika mengalaminya. Banyak juga yang tidak berani mengungkapkan saat terjadi dengan berbagai alasan.

Gita menyampaikan, faktor penyebab KDRT banyak. Dari data yang masuk, yang melapor adalah perempuan dengan pendidikan tinggi. Namun, ini bukan yang berpendidikan rendah lebih aman dan terhindar.

Pendidikan tinggi lebih berani untuk melapor sehingga terungkap kasus-kasusnya. KDRT juga tak melulu soal materi, tetapi bisa menurun dari orang tua. Ternyata, bukan hanya terjadi di rumah saja.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat, laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.

Dikutip dari Kompas.com, Menteri PPPA Bintang Puspayoga pada awal tahun 2022 mengatakan, berdasarkan Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) sepanjang 2019-2021, terjadi peningkatan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan maupun anak.

Angka laporan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat dari 8.864 kasus pada 2019, 8.686 kasus pada 2020, menjadi 10.247 kasus pada 2021. Jumlah korban kekerasan terhadap perempuan juga meningkat dari 8.947 orang pada 2019, 8.763 orang pada 2020, lalu menjadi 10.368 kasus pada 2021.

Secara statistik, pelaku KDRT sebagian besar adalah laki-laki. Namun, KDRT bisa dilakukan oleh siapa saja yang dominan di rumah tangga itu memiliki kemungkinan melakukan penyiksaan fisik, psikis, dan mengekang. Misalnya pada istri yang punya power. KDRT merupakan tindak pidana sehingga boleh dilaporkan.

"Yang saya tahu KDRT adalah dipukul," Kata Maria G. Soemitro. Padahal, KDRT itu beragam. 

Berdasarkan UU RI No.23 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam pasal 5 disebutkan: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.

Kekerasan fisik merupakan perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Penelantaran rumah tangga juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Ilustrasi KDRT (Sumber gambar: shutterstock via kompas.com)
Ilustrasi KDRT (Sumber gambar: shutterstock via kompas.com)

Lalu, Apa yang Dilakukan Jika Terjebak Hubungan Toxic?

Saat terjebak dalam hubungan toxic, segeralah berusaha membebaskan diri dan tidak membiarkannya berlarut-larut. 

Hubungan yang bagus atau rumah tangga yang baik bukanlah tanpa konflik, tapi bagaimana bisa mengatasi konflik. Soalnya, konflik tentunya akan selalu ada.

Jangan mempertahankan suatu hubungan toxic dengan sebuah keyakinan suatu saat pasangan bisa berubah atau membuat diri sendiri berubah. Dalam rumah tangga, seringkali diabaikan karena menganggapnya sebagai bumbu pernikahan.

Padahal ini malah bisa menyakiti dan menyiksa. Terlebih jika sudah berupa cycle of abuse. Lingkaran kekerasan. Pertama ada konflik terpicu untuk marah, banting barang atau berkata kasar, lalu menyesal dan minta maaf Habis marah, dia selalu minta maaf. Selalu itu lingkarannya. Nggak usah tertipu jika begini.

Permintaan maaf dan rasa menyesal dari pelaku kekerasan bukanlah tanda sayang. Ini sudah berbentuk pola dan akan selalu terulang sampai kapanpun. Bukan sekedar toxic. Sudah merupakan karakter kepribadian dan harus ke psikolog. Bila terjadi pertama kali, bisa terjadi kedua kali. Kalau terjadi kedua kali maka akan terjadi ketiga, dan seterusnya.

Menurut Maria G Soemitro yang pernah mengalami hubungan toxic, harus benar-benar jangan asal menikah. Jangan hanya bucin, diajak nikah mau saja karena nikah itu selamanya supaya lebih aman. Sebelum jadi masalah, menjauhlah dari masalah

Bagi korban KDRT, bisa melapor ke kepolisian jika sudah berupa tindak pidana. Dukungan sosial perlu dilakukan oleh orang tua dan sekitarnya, datanglah ke psikolog. 

Untuk perempuan korban KDRT yang tak berpenghasilan, dapat minta pertolongan kepada LSM yang mampu memberikan rumah aman.

Ketika terjebak hubungan toxic, lebih baik sudahi saja jika masih pacaran dan tinggalkan. Namun kalau dalam ikatan rumah tangga, pilihannya ada dua, yakni berpisah meninggalkan atau bertahan, tapi harus dengan harus keyakinan bisa berubah. 

Menurut Gita, hanya karena kamu haus nggak harus minum racun. Ada banyak yang merasa takut kesepian dan takut kehilangan si dia sehingga rela minum racun itu. Padahal tidak, masih banyak air-air yang lain.

****

Jakarta, dhu250322

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun