Dengan cekatan, karyawan itu mengambil kuning telur dengan centong, lalu dengan tangannya yang mengenakan plastik  menambahkan topping, seperti tongcai,cakwe, suwiran daging ayam yang melimpah dan emping yang menutupi bubur dalam mangkuk.
 Mbak Eka sudah menyantap semangkuk bubur ayam biasa. Sambil ngobrol, kami menikmatinya. Mbak satu ini cepat sekali makannya, entah lapar entah sangat suka.
Saya yang lebih menikmati bubur tanpa diaduk menyibak topping ayam, emping dan tongcai yang menutupi bubur. Kuning telur terlihat di baliknya. Menjadi matang di atas bubur yang panas. Hmm, benar juga rasanya tidak amis. Malahan bubur tanpa kuah itu justru menyatu dengan rasa rempah bubur.Â
Menurut karyawan lelaki yang saat itu berseragam cokelat, aroma rempah muncul karena ada paduan jahe dan pala. Ah, hangat memang terasa saat bubur menyentuh mulut lalu melesat ke lambung. Apalagi cuaca memang mulai gerimis.
Untunglah saya mencoba bubur telur legendaris ini. Bubur yang asinnya tidak setajam bubur ayam kebanyakan, tidak diberi kuah kuning dan kecap  seperti penjual lain. Kalau mau lebih asin, ada botol yang diletakkan di atas meja.
Bubur yang sudah mengandung kaldu dengan topping ayam kampung, tongcai, dan emping memberi rasa dan tekstur beda. "Ini bubur ala Cina," kata mbak Eka di sela suapannya. Saya baru saja menggigit tongcai, lobak asin meluncur besama sesendok bubur. Â Â Â
Masih menurut karyawan Burcik, warung Bubur Cikini dibukai sejak pukul 6.00 sampai malam pukul 23.00 WIB. Pagi baru buka merupakan jam ramai pembeli setelah itu jumlahnya akan berkurang. Pengunjung mulai ramai lagi saat sore hari dan malam meski bubur cocok saja dimakan dalam waktu apapun.