Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

(RTC): Kamto, Pahlawan Informasi

10 November 2021   23:59 Diperbarui: 11 November 2021   00:10 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan mulai menderas. Rintik airnya mulai membasahi baju. Kamto merapatkan jaketnya. 

Sudah pukul 4.45 WIB, tidak ada waktu lagi untuk menunda. 

Harus segera ke agen penyalur surat kabar. Ada lembar-lembar surat kabar yang menunggu diantar ke rumah-rumah. 

Kamto memasang tas selempang di bahunya. Tas plastik dengan tali pengikat diletakkannya di belakang jok motor. 

Sejumlah karet gelang ditaruhnya di saku depan tas selempang. Saat hujan, karet gelang merupakan senjata terhitung untuk membantu koran bisa terlempar jauh. 

Pelanggan koran yang cerewet akan memarahinya jika koran jadi basah dan tidak terbaca. 

Kamto mempercepat laju roda motor bebeknya Semoga baik-baik saja si blacky ini. 

Kalau hujan deras terus menerus, jalan yang akan dilalui masuk ke perumahan pelanggan korannya akan terendam banjir. Blacky bisa tiba-tiba ngadat. 

Byarrr..., sebuah mobil berkecepatan tinggi mencipratkan air mengenai sisi tubuh kiri Kamto,"Woy... Apa-apaan! " teriaknya. 

Sial, Kamto mengutuk dalam hati. Subuh-subuh sudah mandi air genangan hujan. 

***

Kamto menerima tumpukan edisi koran yang diberikan pemilik penyalur surat kabar. 

Matanya melirik sekilas tumpukan koran yang harus diantarkan loper lain. Jumlahnya semakin berkurang. 

Kamto tersenyum getir. Dulu, dia pernah merasakan masa ketika Jumlah koran yang diantarnya begitu banyak. 

Lebih dari seratus koran? Kamto senyum sendiri mengingatnya. 

Masih dirasanya bahagia yang menjalar saat setiap bulan menerima uang koran hasil antaran ke pelanggan. 

Emak sangat senang saat disisihkannya uang kala itu. Mata emak berbinar dan penuh syukur. 

Semakin banyak koran yang diantar, makan semakin banyak uang yang diterimanya. 

Lantaran hasil yang lumayan itu, Kamto juga memberanikan diri mendekati Dewi, yang beberapa tahun kemudian jadi istrinya. 

Tapi itu dulu. Tahun 90-an. Itu sudah 30 tahun lalu. Zaman sudah berubah.

Setiap pagi, banyak orang yang menantikan koran yang diantarnya. Saat itu, Kamto seakan merasa jadi pahlawan pembawa kabar berita penting. 

Tapi sekarang? Kamto menggeleng-gelengkan kepalanya. Semua sudah berubah. Tidak banyak lagi yang mau berlangganan koran. 

Semua berita sudah ada di internet. Tinggal ketik-ketik di mbah google, semua berita sudah bisa didapatkan. 

Lewat hape yang kecil semua berita sudah bisa dibaca. Berapa banyak yang masih sudi membaca koran cetak? 

'Korannya berhenti aja. Sudah nggak ada yang baca. Sudah dapat langganan koran lewat hape dari kantor," Ucapan salah seorang pelanggan koran yang memutuskan berhenti berlangganan. 

Kamto ingat masih sempat mengucapkan terima kasih. Tapi, dadanya berdesir.

Berkurang sudah pendapatannya untuk bulan depan. Berkurang juga  uang yang bisa dibawanya untuk Dewi, istrinya. 

Kamto segera memasukkan sebagian koran yang ada di tas selempangnya. Sisanya, diikatnya dilapisi plastik pada jok belakang motornya. 

Sayup masih didengarnya suara Dani, sesama pengantar koran yang mengabarkan jika salah satu langganan tidak perlu diantar lagi besok pagi. 

"Kalau begini terus, Lama-lama habis dong koran yang perlu diantar. "  Suara itu terdengar. 

***

Motor Kamto mulai berbelok ke arah perumahan Cempaka. Masih ada lima pelanggan koran disini. Dulu, rasanya ada dua puluh koran. 

Aroma mie instan dari warung di dekat pintu masuk perumahan menyergap hidung Kamto Perutnya berbunyi. 

Belum ada apapun yang mampir ke perutnya sejak bangun pukul 4.00.Cuma air putih. 

Kamto enggan membangunkan Dewi. Antara tak tega dan rasa bersalah melihatnya. 

Saat akan keluar rumah, Kamto berbisik di telinga Dewi. "Aku pergi dulu. "

***

"Kalau koran yang diantar semakin habis, ya sudah berhenti saja," saran Dewi saat Kamto bercerita. 

Namun, Kamto gamang. Sudah puluhan tahun dia mengantar koran. Meski jumlahnya tak banyak, tetap bisa tanbah-tambah uang dapur. Setelah itu, baru menjalani ojek online, yang sempat sangat sepi saat pandemi virus datang. 

Hujan semakin deras. Pandangan mata Kamto kabur. Kaca helm yang digunakannya tiba-tiba turun. 

Cieeeeetttt. Gubrakk.. Motor Kamto ambruk. Kamto tak melihat lubang jalan yang harus dihindarinya. Mata Kamto pun terpejam sesaat. 

***

"Ini, pak Kamto, minum dulu tehnya. Ada sedikit kue bolu juga. Duduk dulu sebentar," suara Ny. Yuni salah seorang pelanggan koran yang diantarnya terdengar. 

Beberapa orang di perumahan itu membantunya untuk bangun dari aspal jalanan. 

Ny. Yuni mempersilahkan orang-orang memapah Kamto ke rumahnya. 

"Hujan deras sekali, pak! Hati-hati. Pelan-pelan saja nggak perlu buru-buru. Meski agak terlambat datang, saya tetap nungguin koran dari pak Kamto. Buat nenek seperti saya, baca koran lebih enak daripada di hape. Pak Kamto pahlawan saya nggak ketinggalan informasi," celoteh Ny . Yuni panjang lebar. 

Kamto tersenyum mendekap tas selempang berisi koran yang mesti diantarnya. (dhu) 

karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Rumah Pena Inspirasi Sahabat untuk memperingati Hari Pahlawan tahun 2021;

Sumber: Rumah Pena Inspirasi Sahabat
Sumber: Rumah Pena Inspirasi Sahabat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun