Tidak ada perayaan besar-besaran waisak 2564 BE/2020 di seluruh Indonesia, Kamis 7 Mei 2020. Tidak terlihat ribuan umat Buddha dari berbagai kalangan yang berkumpul di Candi Borobudur seperti biasanya. Tidak ada penyalaan lilin dan lentera.
Pandemi Covid-19 telah mengubah cara memperingati Tri Suci Waisak, yakni tiga peristiwa penting hari lahir, pencapaian Siddharta Gautama menjadi Buddha, dan wafatnya Buddha Gautama parinibbana. Tidak ada perayaan meriah di candi atau vihara. Umat cukup di rumah saja. vihara menggelar upacara melalui  streaming.
Hal yang serupa dialami umat Islam juga tengah menjalani ibadah ramadan. Tidak ada ibadah seperti hal biasanya, seperti salat berjamaah di masjid. Tidak ada kegiatan keagamaan yang bisa berlangsung di bulan suci ramadan.
Di saat yang sama, akibat wabah virus corona yang jumlahnya masih terus meningkat  memberi dampak yang merisaukan hati. Khusus Indonesia saja, hingga 7 Mei 2020  menurut data www.covid.go.id, sebanyak 12.776 orang sudah terkonfirmasi dengan jumlah dirawat hingga 9.465 orang, 930 orang meninggal dunia dan 2381 orang yang berhasil sembuh.  Â
Dalam perayaan live streaming Perayaan Trisuci Waisak Nasional 2564 BE/2020 Permabudhi di stasiun DAAI TV, Bhikku YM Sri Pannavaro Mahathera dari Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah mengatakan, kondisi yang terjadi saat ini seakan mengingatkan saat Guru Agung Buddha Gautama  masih menjadi pangeran Siddharta Gautama.
Untuk pertama kalinya pangeran melihat penderitaan ketika sedag bercengkarama  di luar istana. Penderitaan yang dilihat itu, termasuk penderitaan usia tua, penyakit, dan juga kematian.
Melihat penderitaan yang belum pernah dilihatnya di Istana, pangeran Siddharta  justru merasa tidak bersyukur bahwa dirinya tidak mengalami penderitaan seperti itu. Hatinya justru terguncang. Penderitaan yang dilihatnya telah merisaukannya.
Melihat itu semua, Siddharta tidak pesimis melihat kehidupan. Tidak kehilangan semangat untuk hidup . Penderitaan yang dilihatnya memberikan dorongan yang sangat kuat bagi Siddharta untuk menolong, membebaskan penderitaan, dan membebaskan mansia serta mahluk-mahluk dari duka.
Siddharta mencari jalan, mencari sebab penderitaan itu, dan cara untuk menyelesaikan penderitaan. Pangeran Siddharta tidak sekedar menolong. Upaya maksimal dilakukan. Totalitas. Â Â
Siddharta meninggalkan istananya. Kenyamanan dan segala kemegahan ditinggalkannya padahal berstatus putra mahkota untuk selama-lamanya. Semua ini dilakukan untuk menolong penderitaan umat manusia. Kasih sayang muncul pada saat hati terguncang melihat penderitaan.
Pada usia 35 tahun pada purnama di bulan waisaka, Siddharta  mencapai pencerahan sempurna setelah berjuang selama 6 tahun. Lebih menderita dari penderitaan yang telah dilihat sebelumnya . Guru agung telah menemukan jalan, sebab penderitaan dan jalan keluar dari penderitaan.  Â
Apa  saja? yakni jangan berbuat yang buruk. Menjaga diri adalah tanggung jawab semua orang, Keburukan merusak orang lain dan merusak diri sendiri. Berhati-hatila dalam berbicara dan berhati-hatilah dalam menulis. Megendalikan diri adalah awal untuk mengatasi penderitaan.
Optimisme, Kebajikan, dan Gotong Royong
Peringatan Tri Suci Waisak bertepatan dengan umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa di bulan ramadan yang disebut sebagai bulan suci. Saat berpuasa, umat Islam juga diharuskan mengendalikan diri dari perbuatan tidak baik. Mengendalikan hawa nafsu.
 Dalam bulan suci ramadan, umat Islam diminta melakukan banyak beramal soleh dan bersekah. Andaikata tidak ada materi, kebaikan yang diberikan untuk menolong orang lain dapat berupa apa saja.
Hal ini serupa dengan kebajikan yang diajarkan Buddha. Apapun bisa diberikan, baik berupa segelas air putih, obat-obatan, hingga tempat berteduh. Perbuatan yang baik sudah pasti  akan menentramkan hati. Tentu saja, kebaikan yang dilakukan harus dilakukan dengan ketulusan hati. Tanpa keinginan mendapatkan pujian dan pahala.
Untungnya, nenek moyang orang Indonesia memiliki semboyan gotong royong. Dalam gotong royong, kasih sayang bisa dilakukan tanpa pamrih dan tanpa berharap pahala.
Buddha juga telah mengingatkan siap untuk menerima perubahan yang tidak bisa dihindari. Umur tua, penyakit, dan kematian bisa datang. Semua ini tidak harus menjadi penderitaan mental jika dilatih dengan sunggu-sungguh. Perubahan harus diterima karena memang tidak bisa dihentikan.
 Dalam Islam, ramadan juga merupakan bulan menempa diri untuk menjadi lebih baik. Menjadi manusia yang semakin baik ahlaknya. Menumbuhkan rasa empati dan rasa kepedulian yang lebih tinggi terhadap sesama melalui puasa dan zakat.
Ya, terkait dengan bulan ramadan dan hari raya waisak yang  jatuh pada bulan yang sama, kata kepedulian menjadi salah satu cara untuk saling membantu siapapun yang terdampak covid-19.
Kebersamaan  yang menyatukan. Dengan dilakukan secara bergotong royong tanpa membeda-bedakan siapa pun, rasa optimisme untuk mengatasi kesulitan yang timbul akibat wabah pada tahun 2020 ini bisa diatasi. Semangat hari ramadan dan hari raya waisak yang menumbuhkan optimisme.  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H