"Kalau semua anak kita kerdil, tidak akan bisa membantu di usia produktif. Anak yang stunting akan lebih berisiko mengidap penyakit tidak menular seperti Diabetes, yang selanjutnya bisa gagal jantung, ginjal yang luar biasa biaya yang harus dikeluarkan. Ini yang harus didorong, anak kita tidak stunting, sehat yang akan sendirinya membantu perbaikan ekonomi," tutur Menkes panjang lebar. Stunting (kerdil) adalah kondisi gagal tumbuh ada anak balita akibat kekurangan gizi kroni, terutama dalam 1000 hari pertama kehidupan. Jumlah anak stunting di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara.Â
Penyebab stunting bersumber pada praktek pengasuhan yang tidak baik. Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, 60 % dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI eksklusif, dan 2 dari 3 anak usia 6 hingga 24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping (MP-ASI) yang bergizi.Â
Begitu pentingnya ASI dalam penanggulangan stunting. Intervensi dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan pun dilakukan, yakni berupa mendorong Inisiasi Menyusui Dini (IMD) untuk mendapatkan ASI jolong/colostrum dan mendorong pemberian ASI Ekslusif. Selain pemberian MP ASI sesuai dengan kebutuhan dan bergizi seimbang, serta ASI yang diteruskan hingga usia anak 24 bulan.Â
Menyusui Adalah Investasi Terbaik
Dukungan keluarga sangat berperan. Meskipun ASI hanya bisa diberikan seorang ibu yang melahirkan anak, perhatian yang diberikan oleh seorang ayah sangat penting untuk memperlancar ASI. Kepedulian seorang ayah akan membuat ibu bahagia, yang dengan sendirinya akan membuat ASI semakin lancar.Â
Menkes Nila Moeloek mengatakan,selama menyusui, diharapkan keluarga, masyarakat, pemerintah dan lingkungan sekitar ibu dapat mendukung ibu bayi agar berhasil menyusui dengan baik. Dukungan pada ibu agar berhasil menyusui sesuai standar Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) terbukti dapat mencegah kematian anak dan kematian ibu dan berkontribusi pada pencegahan stunting, sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia di masa mendatang.
 Permasalahan gizi di tingkat global menurut data Global Nutrition Report (GNR) tahun 2018 terdapat 22,2% Balita Stunting, 7,5% Balita Kurus dan 5,6% Balita Gemuk di seluruh dunia, sedangkan di Indonesia menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan angka Balita Stunting sebesar 30,8%, Balita Kurus 10,2% dan Balita Gemuk sebesar 8%.Â
Gambaran data tersebut menunjukkan masalah gizi pada balita di Indonesia masih cukup tinggi sehingga masih merupakan masalah gizi masyarakat yang perlu menjadi prioritas khusus. Untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, Pemerintah sendiri telah menetapkan prioritas pembangunan kesehatan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019, yaitu: Perbaikan gizi khususnya Stunting, Penurunan AKI dan AKB, Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM) dan Pengendalian Penyakit Menular.Â
Sebaliknya, akibat rendahnya cakupan ASI Eksklusif akan berdampak pada meningkatnya risiko kematian ibu dan balita serta pembiayaan kesehatan akiba tingginya kejadian diare dan infeksi lainnya (The Lancet Breastfeeding Series, 2016). Selain itu tidak menyusui dikaitkan dengan kerugian ekonomi sekitar 302 milyar dollar setiap tahunnya atau sebesar 0,49% dari Pendapatan Nasional Bruto global.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka keberhasilan praktik menyusui sesuai Standar Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) pun menjadi strategi yang sangat penting dalam rangka mencapai sasaran Prioritas Pembangunan Kesehatan untuk Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), serta Perbaikan Gizi khususnya Stunting.Â