Nama Siti Walidah atau yang biasa disebut dengan Nyai Walidah Ahmad Dahlan, merupakan salah satu tokoh perempuan Islam yang dimiliki bangsa Indonesia. Perempuan ini dalam hidupnya berjuang untuk  memberikan kesempatan pendidikan bagi perempuan agar cerdas. Selain juga berjuang meningkatkan kesetaraan/emansipasi perempuan.Â
Nama perempuan ini dalam pergerakan emansipasi perempuan, tidaklah disebut di masa awal seperti RA. Kartini atau Dewi Sartika. Namun, di tangan Walidah, sebuah organisasi perempuan islam bisa berkembang pesat dan bertahan hingga masa kini.
Karena itulah, saya mengangkat Walidah sebagai salah satu tokoh islam perempuan yang pantas difavoritkan. Terlepas dari latar apapun. Perempuan ini sering disebut sebagai sosok di balik layar kesuksesan suaminya KH Ahmad Dahlan, tokoh pergerakan islam pendiri Muhamammadiyah.
Namun sebenarnya, Walidah lebih dari itu.Walidah merupakan sosok perempuan cerdas dan memiliki kemampuan berdakwah sejak kecil. Kiprah nyatanya bisa ditelusuri dan terlihat langsung
Tak heran, perempuan ini menyandang gelar  tokoh nasional dari presiden atas jasanya.  Sebuah film berjudul Nyai Ahmad Dahlan pun pernah dirilis untuk mengangkat perjuangan perempuan yang lahir di Kauman pada 1872 Masehi.
Walidah bersekolah di rumah, diajarkan berbagai aspek tentang Islam, termasuk bahasa Arab dan Alquran. Karena itu, Walidah yang memiliki kemampuan berdakwah sejak kecil, mendapat kepercayaan dari sang ayah untuk membantu mengajar di Langgar Kiai Fadhil.
Kala itu, posisi perempuan memang tidak bisa mendapatkan pendidikan seperti zaman sekarang. Budaya patriarki begitu kuat. Tinggal di lingkungan keraton Yogyakarta, setiap anak perempuan harus rela tinggal di rumah menjalani pingitan hingga datang saatnya menikah.
Walidah akhirnya menikah dengan saudara sepupunya  Muhammad Darwis yang kemudian dikenal dengan KH Ahmad Dahlan, yang  kala itu baru pulang dari tanah suci pada tahun 1889. Wawasan Walidah sangat luas karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan juga tokoh-tokoh nasional lainnya karena
Siti Walidah ikut merintis kelompok pengajian wanita Sopo Tresno (Siapa Cinta) pada tahun 1914. Di kelompok itu, dilakukan pengkajian agama yang disampaikan secara bergantian dengan suaminya. Mendirikan pondok untuk anak-anak perempuan yang ingin menjadi guru agama. Â
Surat Al-ma'un menjadi surat pertama yang kerap diajarkan pada pengajian ini. Melalui surat ini, Siti Walidah dan Ahmad Dahlan mengasah kepekaan muridnya  pada fenomena kemiskinan di kalangan Umat Islam.
Secara langsung, Siti Walidah memberikan pelajaran agama, ilmu umum dan baca tulis. Asrama untuk para perempuan yang belajar pun menyatu dengan rumah kediaman Siti Walidah.
Kelompok pengajian itu akhirnya membesar dengan jumlah anggota yang terus bertambah. Disitulah kemudian timbul pemikiran Nyai Ahmad Dahlan untuk mengembangkan pengajian Sopo Tresno menjadi sebuah organisasi kewanitaan berbasis Agama Islam
Nama Aisyah dipilih sebagai organisasi Islam bagi kaum wanita.Organisasi tersebut resmi didirikan pada 22 April 1917, tepatnya pada malam peringatan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW.
Namun, kala itu bukan Aisyah yang tampil sebagai ketua. Perempuan berjiwa besar ini dengan pertimbangan tak berlatar pendidikan umum, menyerahkannya pada murid perempuan tercerdas yang ada, yakni Siti Bariyah kemudian tampil sebagai ketuanya.
Nama organisasi Aisyiyah terinspirasi dari istri Nabi Muhammad, yaitu Aisyah, yang dikenal cerdas dan mumpuni. Harapannya, profil Aisyah juga menjadi profil orang-orang Aisyiyah.
Lima tahun setelah didirikan, Aisyiyah kemudian resmi menjadi bagian dari  Muhammadiyah. Selama puluhan tahun, organisasi perempuan tersebut mampu bertahan hingga kini. Â
Banyak hal yang telah dilakukan Nyai Walidah Ahmad Dahlan. Perempuan ini mencontoh langsung tindakan yang bisa dilakukan. Selain membuka asrama dan sekolah-sekolah puteri, Walidah mengadakan kursus-kursus pelajaran Islam dan pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan.
Selain itu juga  mendirikan rumah-rumah miskin dan anak yatim perempuan serta menerbitkan majalah bagi kaum wanita. Awalnya tidak mudah karena mendapat tentangan dari masyarakat Kauman.
Masyarakat sulit menerima jika perempuan belajar baca dan tulis, dengan meninggalkan rumahnya. Secara perlahan, akhirnya perempuan menempuh pendidikan bisa diterima.
Nyai Ahmad Dahlan menolak adanya kawin paksa di budaya patriarki yang begitu kuat. Â Baginya, perempuan adalah mitra bagi suami. Â Meski di sisi lain, perempuan ini harus menerima saat suaminya berpoligami.
 Saat Kongres Muhammadiyah ke-15 tahun 1926 di Surabaya, Siti Walidah mencengangkan banyak orang  karena berpidato di hadapan kongres. Memimpin kongres, adala peristiwa langka bagi perempuan di awal abad ke-20.
Sejumlah harian Surabaya memberitakannya, seperti Pewarta Surabaya. Bahkan, melalui Sin Tit Po, pewartanya mengajak kaum isteri Tionghoa agar bertindak maju seperti yang dipraktekkan warga 'Aisyiyah.
Nyai Ahmad Dahlan wafat pada tanggal 31 Mei 1946 pada usia 74 tahun. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.042/TK/1971, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Nyai Hj. Ahmad Dahlan untuk menghormati jasa-jasanya dalam menyebarluaskan Agama Islam dan mendidik perempuan.
Dari yang dilakukan Nyai Ahmad Dahlan, dapat ditarik jika perempuan mampu untuk berkiprah dan melakukan yang terbaik. Perempuan bisa cerdas dan memperoleh pendidikan tinggi, berorganisasi, mengembangkan diri, setara dengan lelaki. Â Tindakan Nyai Ahmad Dahlan telah menginspirasi perempuan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H