USAI shalat tarawih, keributan terjadi di areal halaman masjid. Menarik perhatian para jamaah yang hendak pulang ke rumahnya masing-masing. Beberapa di antaranya mulai mendatangi pusat kehebohan. Rasa ingin tahu muncul sehingga kerumunan pun mulai terbentuk.
Dua orang anak kecil usia sekolah dasar ada disana. Tampak bingung sedang mencari-cari sesuatu. Saya yang baru saja keluar dari ruangan masjid terkejut. Pandangan mata tiba-tiba mengenali mereka. Keduanya keponakan yang memang shalat tarawih di masjid yang sama.
"Ada yang kehilangan sandal," kata salah seorang jamaah yang sepintas kudengar. Telinga saya siaga sambil mendekati kedua keponakan. Ibu kedua bocah itu juga sudah ada disana.
"Sandal Lita nggak ada," kata ibunya.
Beberapa anak muda menawarkan diri untuk mencari sandal yang hilang. "Ciri-cirinya seperti apa? Sandal apa? Sandal jepit?" tanya salah seorang dari mereka.
Mereka pun mulai mencari ke sekeliling halaman masjid. Suatu hal yang sangat jarang terjadi. Ada kehilangan sandal jepit di masjid kompleks, yang banyak di antara jamaah masjidnya sudah sering mengenal.
Ibunya, antara bingung dan mulai kesal dengan kelakuan anaknya. Bocah 8 tahun itu tidak patuh mengikuti pesan ibunya untuk tidak meninggalkan sandal yang digunakan begitu saja saat memasuki teras masjid.
Apalagi, jika menggunakan sandal jepit. Sudah pasti yang menggunakannya banyak. Bentuk dan warna sandal jepit, merek apapun juga tetap sama. Ya, gitu-gitu saja. Kecuali pada warna karet tali sandal yang berbentuk v dan bagian bawahnya. Untuk pijakan kaki, sandal jepit ya tetap putih.
"Kamu ke masjid pakai sandal jepit? Kenapa nggak ditaruh di tempat penitipan sepatu dan sandal?" tanya ibunya.
Ya, alas kaki apapun bentuknya tidak boleh melewati batas suci yang telah ditentukan. Entah kenapa mereka-mereka itu enggan menaruhnya di tempat penitipan sepatu/ sandal, dengan biaya penitipan yang hanya seikhlasnya saja.