Sebagai satwa yang berkembang biak secara monogami, susah bereproduksi, dan selektif dalam memilih pasangan, Owa Jawa (Hylobates moloch) terancam kepunahan. Itu pun masih dibayangi dengan adanya tindakan perburuan liar untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan. Upaya rehabilitasi dan habituasi terhadap Owa Jawa pun dilakukan Pertamina bersama Yayasan Owa Jawa sejak tahun 2013.
BERUNTUNG ! Itu kata yang diucapkan oleh Igud, salah seorang pemandu yang menyambut rombongan Kompasiana Visit bersama Pertamina "Save Owa Jawa", yang baru saja tiba di Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Bodogol, Jawa Barat, Senin 13 Mei 2017.
Tangannya menunjuk pada seekor Owa Jawa yang tengah berada di atas pohon. Sesekali berlompatan sambil membawa anaknya dalam dekapan. Seakan tidak peduli, Owa Jawa itu berpindah ke dahan pohon yang lain.
Saya terkesima. Mata saya mengikuti arah tangan Igud. Seperti halnya teman yang lain, saya segera beraksi mengabadikannya meski tak begitu jelas tergambar dengan kemampuan kamera ponsel yang tak memadai.
"Owa Jawa tidak selalu menampakkan diri. Beruntung bisa menyaksikannya secara langsung," ujar Igud.
Haha, mungkin Owa Jawa itu tahu kalau rombongan kami datang jauh-jauh dari Jakarta. Berkumpul sejak pagi di Bentara Budaya Jakarta dan tiba di hutan Bodogol untuk mengunjunginya dengan gambar diri Owa Jawa dan kalimat Save Owa Jawa, yang tertera di kaus putih yang dikenakan semua peserta.
"Kalau datang lebih pagi, bisa mendengarkannya langsung Morning Call selamat pagi," kata ibu Badiah, Kepala Bidang Wilayah 3 Bogor, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. .
Tiba dari Jakarta, kami masih melanjutkan perjalanan menggunakan mobil jep yang menempuh jalan sekitar 7 KM untuk mencapai Bodogol. Sebuah perjalanan yang cukup menegangkan karena medan yang harus ditempuh berupa tanah licin.
Kami yang di dalam mobil pun terantuk-antuk. Terguncang ke arah kiri dan kanan. Sesekali becek tanah yang beradu dengan roda menciprat airnya ke dalam mobil, mengenai jaket yang digunakan. Tak apa, ini perjuangan seru karena kami akhirnya bisa bertemu dengan primata bernama Owa Jawa, si langka monogami yang dilestarikan di Bodogol.
Menurut Ibu Badiah, Owa Jawa merupakan hewan yang sangat sensitif. Apalagi, bila bertemu dalam jumlah kerumunan orang banyak. Saat itulah saya baru menyadari alasan hanya 5 orang teman kami, yang mendapatkan keistimewaan melihat langsung Owa Jawa yang sedang menjalani rehabilitasi.
Owa Jawa, yang merupakan primata tidak memiliki ekor memang sangat setia. Di TNGG Pangrango Bodogol, jumlahnya hanya ada 13 keluarga. Ya, Owa Jawa hidup serupa manusia. Berkeluarga dan memiliki anak-anak.
Bila terjadi perburuan liar atau pasangannya mati, Owa Jawa yang merupakan orang tua bisa mengalami stress. Kehilangan anggota keluarga yang disayangi dapat mengantarkannya pada kematian.Sehingga, Owa Jawa masuk dalam kategori Endangered Spesies.
Di wilayah Jawa Timur, Owa Jawa sudah punah. Status IUON 2008 mencatat, jumlah Owa Jawa kurang dari 40.000 spesies. Karena itulah gerakan #SaveOwaJawa dilakukan.
Bila ada Owa jawa yang berada di masyarakat, selain rehabilitasi, dilakukan habituasi untuk dikembalikan pada alam. Kembali pada habitatnya agar tetap bertahan hidup.
Selain itu, dilakukan penanaman 1000 pohon pakan. Penanaman pohon ini perlu agar Owa Jawa bisa bertempat tinggal di habitat yang sesuai dan nyaman. Lingkungan yang hijau merupakan prasyarat satwa ini dapat lestari.
Menurut Agustian, edukasi pun dilakukan di lebih 1000 sekolah, media, juga kepada masyarakat Gunung Puntang. Semuanya untuk menyelamatkan Owa Jawa! Si langka yang sensitif namun setia pada pasangannnya. Pemantauan terhadap Owa Jawa yang menjalani rehabilitasi dan habituasi diupayakan agar tidak ada yang keluar dari hutan lindung!
Selain Owa Jawa, di TNGG Pangrango terdapat juga sejumlah hewan langka lainnya, yakni Elang dan Macan Tutul. Keberuntungan kedua adalah saya dan teman-teman berhasil melihat Elang Jawa secara langsung melintas di langit, saat berada di catwalk.
Burung Elang Jawa merupakan burung langka yang menjadi penyeimbang populasi ekosistem hutan. Satwa predator toppada rantai makanan ini melintas, saat kami berada menara pengamatan atau catwalk.
Catwalk? Haha, sebutan ini muncul karena dulunya tempat berjalan kucing hutan, dilihat dari jejak kotorannya. Dari catwalk, dapat melihat pemandangan hutan dari ketinggian dan juga mengamati burung Elang Jawa.
Didampingi Igud dan ditemani polisi hutan bernama Ike, kekaguman terhadap kekayaan alam membuncah. Berjalan kaki, kesegaran hawa menjelang hujan di hutan Bodogol terasa menyegarkan.
Di beberapa tempat yang ditandai,di dalam hutan Bodogol terdapat plang papan penjelas. Salah satunya mengenai Owa Jawa, Surili, dan Lutung. Ketiga jenis primata ini merupakan fauna endemik di Pulau Jawa yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai penyebar benih, dari biji-bijian sisa-sisa makanan yang dimakan (buah) dan terbuang melalui kotoran.
Melintasi dalam hutan Bodogol, Igud sang pemandu menjelaskan banyak mengenai tumbuhan untuk pengobatan. Ada paku rane, Kirapet, Luna, hingga tumbuhan hujan. Paku Rane, biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk pengobatan. Mulai dari mengobati jerawat dan penghalus kulit, mengobati penyakit maag dan pengobatan ibu pasca melahirkan, sebagai obat batuk, dan harendong sebagai obat gatal-gatal.
Kami melalui jembatan kanopi pertama di Indonesia, yang dibangun di hutan pada tahun 1998 dengan menggunakan 4 pohon besar untuk menunjang jembatan ini. Panjang jembatan kanopi ini, yaitu 100 meter dengan ketinggian yang bervariasi, 5-25 meter.
Keseruan mengenal satwa dan lingkungan di hari pertama berlanjut pada hari kedua, Selasa 14 November 2017. Bangun pagi dari tempat menginap di hotel Amaris, Pakuan, kami bersiap untuk uji nyali melalui rafting di aliran Sungai Cisadane sepanjang 11 KM.
Di atas perahu merah berisi enam orang dengan seorang pemandu bernama kang Udjo, masing-masing memegang dayung untuk mengayuh maju dan mundur.
Saya terkaget menyaksikan salah seorang teman di perahu saya jatuh saat perahu terhentak air. Untunglah, sebelum rafting sudah diajarkan sejumlah petunjuk menyelamatkan diri. Dia berhasil menarik tali panjang putih yang diulurkan.
Dari rafting aliran Sungai Cisadane, saya belajar lebih mengenai alam. Perlunya menjaga sungai dari kebersihan karena memiliki potensi wisata. Saat melintas, sesekali mata saya menangkap tumpukan sampah di sisi kiri dan sisi kanan sungai. Ah, sedih.
Menutup rangkaian visit #saveowajawa bersama pertamina selama dua hari, pengetahuan bertambah dari pemaparan Minanti Putri, Staff CSR Pertamina Asset 3 Subang Field dan Wahyu Widiatmoko, selaku Petroleum Engenering PT Pertamina EP Asset 3 Subang Field di RM Gumati, Bogor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H