Seperti apa perekonomian Indonesia di tahun 2017? Pertanyaan ini selalu mengemuka saat akhir tahun. Setiap pergantian tahun selalu memberi harapan untuk dapat hidup yang lebih baik. Meski selama 5 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia turun, namun tetap muncul rasa optimis pertumbunan ekonomi Indonesia akan mencapai angka 5,2 atau 5,3 %.
Rasa optimis ini terlihat dari naiknya pertumbuhan ekonomi 2016 (5,1%) bila dibandingkan dengan tahun 2015 (4,8%). Sejumlah sektor diprediksi mampu berkembang, terutama karena mulai membaiknya harga komoditas dan didukung kesuksesan Tax Amnesty.
Selain tentunya juga mengembangkan sektor wirausaha dan memaksimalkan peluang yang ada di MEA. Semua ini terangkum dalam perbincangan bertema Economic Outlook 2017 ini ada di Kafe BCA, yang diselenggarakan di Break Out Area Menara BCA lantai 22, Rabu 14 Desember 2016.
Meski bahasan ekonomi umumnya cenderung serius dan penuh angka-angka, Yuswohady, praktisi pemasaran belasan tahun dan sempat berada di MarkPlus, saat menjadi moderator acara Kafe BCA mampu membawakannya dengan lebih ringan dan mudah dipahami. Sejumlah peserta, merupakan mahasiswa penerima beasiswa PPA BCA.
Kafe BCA dibuka oleh Jan Hendra, sekretaris perusahaan BCA. Ini merupakan kafe BCA serial ke-4 dan terakhir di tahun 2016. Kafe BCA diselenggarakan dengan membahas berbagai tema aktual untuk memberi nilai tambah bermanfaat bagi masyarakat.
Anggawira, Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) yang memaparkan pertama kali menyampaikan proyeksi ekonomi dalam perspektif pelaku usaha.
Menurutnya, Indonesia adalah negara yang berpotensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-7 dunia. Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam, kapasitas ekonomi yang besar, anggota G20, jumlah penduduk usia produktif, UMKM menjadi mayoritas usaha, dan bonus demografi.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah memproyeksikan Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ketujuh terbesar dunia pada 2030, dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR pada bulan Agustus 2016.
Bonus demografi, yang ditandai dengan banyaknya penduduk usia produktif, menurut Anggawira, harus cermat diperhatikan agar tidak jadi malapetaka ke depannya. Saat ini Indonesia hanya punya 1,6 % pengusaha dari total jumlah penduduk. “Sangat nggak mungkin mencapai pertumbuhan ekonomi 6, 7, atau 8 % kalau tidak menggerakkan ekonomi berbasis wirausaha muda,” kata Anggawira.
Memang diakui Anggawira, para orang tua di Indonesia lebih mendorong anak muda untuk menjadi pegawai negeri sipil dan pegawai swasta. Padahal, negara yang maju mempunyai pengusaha minimal 2%. Untunglah di era 2000-an, ketertarikan terhadap dunia enterpreneur mulai terbuka. Pemerintah pun mendukung geliat dunia UMKM.
Mengenai ketergantungan ekspor komoditas, Indonesia hingga sekarang belum bergeser. Industri di Indonesia belum tumbuh dan belum bernilai tambah. Belum bisa menggarap produk turunan dengan baik.
Anggawira berdasarkan data Intrancen 2014 menyebutkan, ekspor komoditas Indonesia (79,6%) tertinggi kedua di ASEAN setelah Brunei (91,4 %). Sementra Malaysia eskpor komoditas (30,2%) dan Singapura (17,9%).
Lantaran harga komoditas turun, pertumbuhan ekonomi Indonesia pun terpengaruh turun.Produk-produk yang diekspor merosot karena pertumbuhan ekonomi dunia melemah. Dampaknya, jumlah produk yang dijual pun menurun.Penurunan harga komoditas berpengaruh signifikan pada perekonomian Indonesia.Tembaga, batu bara, minyak kelapa sawit, karet, nikel, timah, aluminium, kopi yang menjadi andalan, harga komoditasnya menurun. Misalnya saja, Kopi yang semula USD 223 per kg menjadi USD 178 per kg.
Kesenjangan Ekonomi
Dari segi tingkat kemiskinan, Indonesia pun masih cukup tinggi terutama di kawasan timur Indonesia, seperti Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara, Maluku, dan Gorontalo. Tingkat kemiskinan ini bertalian dengan kondisi infrastruktur, jangkauan, dan akses.
Rasio Gini nasional yang meningkat, memperlihatkan ketimpangan di pedesaan dan perkotaan. Penduduk miskin berkurang 4,02 juta selama 6 tahun namun kesenjangan bertambah. Sebanyak 10 % orang Indonesia diperkirakan memiliki 77 % kekayaan di Indonesia.
Tingkat kebutuhan investasi selama periode 2015-2019 untuk mencapai berbagai target pertumbuhan ekonomi jangka menengah diperkirakan mencapai Rp.26,809 Triliun. Sebanyak 15 % merupakan kontribusi pemerintah dan sisanya 85 % pihak swasta. Investasi berkaitan dengan Produk Domestik Bruto dan serapan tenaga kerja.
HIPMI, lanjut Anggawira, sedang mendorong UU mengenai Kewirausahaan dan perubahan UU Perbankan, yang dinilai agak berat bagi para pengusaha pemula. Para usahawan jika ingin pinjam uang di bank belum apa-apa diminta neraca 3 tahun, dan jaminan 120 %. Pembiayaan perbaankan harus mendukung tumbuhnya wirausaha muda.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia versi IMF dan Bank Dunia menyebutkan, pada tahun 2016 dan 2017 lebih tinggi ada di negara pasar berkembang, Tiongkok, dan India ketimbang dunia, negara maju, EU, dan AS.
Nah, buat Indonesia yang memiliki terdiri atas daratan dan lautan , manakah yang menjadi peluang di tahun 2017? Luas laut kita mencapai 70 % dari total wilayah NKRI. Saat ini mayoritas pengusaha masih berfokus pada bisnis di darat dibandingkan di laut. Banyak peluang bisnis kelautan yang belum tersentuh sekaligus untuk menjaga kedaulatan negara.
Nilai bisnis maritim berdasarkan data Kementrian Kelajutan dan Perikanan (KKP) tahun 2015 menyampaikan, untuk perikanan (USD 47 M/tahun), pariwisata bahari (USD 29 Miliar/tahun), industri biofarmasetika (USD 330 M/tahun), energi terbarukan (USD 80 Miliar/tahun), sektor transportasi (USD 90 Miliar/tahun).
Karenanya, menurut Anggawira sekaranglah saatnya Going Back to The Village untuk menggerakkan ekonomi berbasis sumber daya alam. Bisnis Agro dan Maritim merupakan pilihan yang baik.
Menghadapi kondisi perekonomian yang tak terduga , Moch Dody Ariefianto selaku Direktur Grup Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengatakan, salah satu yang harus diperhatikan adalah bila Presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump menerapkan janji kampanyenya.
Menurut Dody, 4 pilar kebijakan Trump membangkitkan Global New Nationalism. Trump berencana melakukan pembangunan infrastruktur besar-besaran, memotong tarif pajak perseroan, merenegoisasi perjanjian perdagangan, juga menekankan keamanan perbatasan dan imigrasi.
Pasar keuangan domestik akan tertekan sejalan dengan emerging marketlainnya. Meski demikian, menurut Dody, pengaruh efek Trump terhadap Indonesia masih bisa dikelola. Kenaikan suku bunga yang dilakukan Bank sentral Amerika The Fed dan berdampak pada penguatan dollar Amerika.
Untungnya lagi, nilai ekspor Indonesia juga tidak terlalu besar. Menurut Dody, siklus bisnis memang mengalami penurunan di 3 quarter 2016 disebabkan pelemahan konsumsi dan ekspansi pemerintah. Namun, dari sisi neraca pembayaran justru membaik karena ditopang oleh portfolio inflow.Meskipun kinerja fiskal berisiko Shortfall tetapi tetap Manageable. Dari sisi kebijakan Moneter, Bias Longgar dapat Dipertahankan selama Kondisi Makro Ekonomi dan SSK Mendukung.Indonesia relatif Sound
Dody menyampaikan, dalam risk manajemen ada 8 risiko, tapi untuk perbankan dua hal yang menjadi utama dan sangat penting,yakni risiko likuiditas dan kredit. Likuiditas relatif tinggi didukung bias longgar kebijakan moneter. Untuk perkembangan jumlah uang beredar, masyarakat lebih memilih cash.
Jan Hendra, sekretaris perusahaan BCA mengatakan, tantangan terhadap perekonomian nasional terutama berkaitan dengan perlambatan ekonomi dunia memang masih membayang di tahun depan. Namun, beberapa sektor di dalam negeri diprediksi bakal tetap bertumbuh. Sektor-sektor itu terutama bertumpu pada belanja rumah tangga, manufaktur, infrastruktur, pariwisata dan industri kreatif, serta perdagangan berbasis online. Perbankan berperan dalam penguatan fundamental ekonomi dalam negeri .
Jan menambahkan, peran perbankan meluas sejalan dengan gencarnya implementasi literasi dan inklusi keuangan yang mendorong masyarakat untuk menggunakan layanan perbankan. Tentu saja, perbankan juga perlu semakin meningkatkan kualitas layanan dan solusi perbankan.
Tahun 2017 tinggal selangkah lagi. Tahun depan dapat dikatakan sebagai tahun bottoming up, tahun rebound, atau tahun curi start. Optimis pertumbuhan ekonomi tahun depan 5,2 atau 5,3 %. Jadi, yuk siapkan diri melakukan yang terbaik !
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI