“Mengandalkan pada sumber daya alam itu kalah dan salah. Harus mengandalkan pada sumber daya manusia,” kata Habibie.
Habibie menyampaikan, sektor turisme pun tidak bisa diandalkan begitu saja. Turisme akan datang bila ada orang yang berduit. Lebih dibutuhkan SDM yang mampu membuat produk yang unggul dan memiliki daya saing. Semua ini membutuhkan waktu.
Sehingga, tidak cukup hanya pada budaya, pendidikan, dan kesehatan yang jitu. Sementara di sisi lain lagi-lagi Indonesia masih mengimpor barang-barang dari luar negeri. Isyu orang kerja harus menjadi yang utama.
Habibie yang kini berusia 80 tahun memiliki definisi sendiri dengan menyebut siapa pun yang dibawah 41 tahun sebagai cucu intelektual dan siapa pun yang di bawah usia 65 tahun adalah anak intelektual.
Dengan film yang diputar itu, Habibie berharap yang menontonnya akan memperoleh ilham, tidak hanya untuk yang menonton melainkan juga bagi anak-anak masa depan lainnya. Habibie menegaskan jika Jerman adalah negara yang tidak mengandalkan pada sumber daya alam (SDA) melainkan SDM (sumber daya manusia).
Inspirasi Film Rudy Habibie
Film Rudy Habibie yang memiliki durasi tayangan lebih dari dua jam ini diawali dengan masa kecil Habibie, yang diwarnai masa penyerangan sekutu saat masih tinggal di Pare-Pare. Sebelum akhirnya pindah ke Gorontalo, tempat asal Alwi ayah Habibie.
Sejak kecil, Rudy Habibie sudah sangat menyukai pesawat terbang. Meski kemudian ayahnya meninggal dunia secara mendadak akibat serangan jantung, ketertarikan Rudy pada pesawat terbang tidak berkurang. Sampai saat kemudian memutuskan melanjutkan kuliah di RWTH Ancheen, Jerman, keinginan Rudy untuk membangun industri pesawat terbang di tanah air Indonesia tidak pernah pupus.
Namun, semuanya tidaklah selalu mudah bagi Rudy yang dibiayai sendiri oleh Tuti, maminya di Bandung. Rudy dibullykarena adanya senioritas dari sesama mahasiswa Indonesia di Jerman. Belum lagi terkadang menghadapi masalah keuangan karena telatnya kiriman uang dari maminya, sehingga terpaksa harus menahan lapar.