Kesenjangan antara pekebun dengan perusahan pengolah hasil pekebun semakin melebar. Kesenjangan ini yang menjadi penyebab utama terjadinya permasalahan di perkebunan atau pedesaan, termasuk kerusakan lingkungan hidup dan konflik sosial.
Belajar dari Negara Lain
PERKEBUNAN Indonesia saat ini tertinggal dari negara lain. Tidak ada salahnya untuk belajar dari negara lain. Amerika Serikat banting setir pada pertengahan tahun 1970-an, Amerika karena menurunnya harga gula.Bila semula bertumpu pada  pasokan gula impor, Amerika mengembangkan bahan pemanis, yang dibuat dari jagung (High Fructose Corn Syrup).
Hal ini mengurangi Amerika mengimpor gula sebanyak 4 juta ton dari negara berkembang. Hingga kini, Amerika Serikat merajai produk HFCS dan semakin unggul dengan dibudidayakannya jagung transgenik sejak tahun 1996.
Tahun 1970-an, Thailand pun membangun industri gula baru yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta. Industri gula berbasis tebu hasil petani. Thailand berhasil dalam industrialisasinya sehingga mampu ekspor. Konsumsi domestik  gula hanya 1/3 saja dari produksi nasionalnya.
Keberhasilan RRC untuk keluar dari masalah kelaparan adalah dengan mengembalikan pertanian sistem komunal ke sistem insentif rumah tangga, melalui reformasi agraria. Perubahan ini disimultankan dengan membangun sektor keuangan, industri, dan jasa sehingga mampu mendorong dan meningkatkan  produksi pangan, serta pertanian RRC. Indonesia bahkan mengimpor beras dan komoditas pertanian lain dari RRC, padahal jumlah penduduk RRC, lima kali lebih banyak dari penduduk Indonesia.
Malaysia sangat memperhatikan riset pertaniannya, dengan menyediakan anggaran yang lebih tinggi dibandingkan anggaran riset pertanian per kapita Amerika Serikat. Â Jumlah peneliti petanian pun lebih banyak daripada di Indonesia.
Perkebunan Kelapa sawit Indonesia terluas di dunia dengan luas areal sekitar 9 juta hektar dan dimiliki para konglomerat Indonesia. Sayangnya, R&D kelapas sawit lemah. Produk akhir yang diekspor dari Kelapa sawit masih berupa minyak mentah.
Pada tahun 2012, Â jumlah penerbitan publikasi ilmiah di dunia, Indonesia berada pada urutan ke-63 sedangkan Malaysia pada urutan 42. Di tingkatan ASEAN, jumlah publikasi ilmiah Indonesia berada di bawah Kamboja dan hanya setingkat lebih tinggi dari Myanmar.