Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Surat  Cinta untuk Kartini, Cerita Pendidikan dan Cinta dalam Sepucuk Surat

22 April 2016   23:22 Diperbarui: 23 April 2016   04:19 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kalian ingat, pendidikan itu penting. Apalagi untuk perempuan. Nantinya laki-laki dan perempuan akan hidup berdampingan,” ucap Kartini.

[caption caption="Adegan Kartini saat bermain ayunan bersama murid-murid perempuan pribuminya (gambar:trailerMNCpictures)"]

[/caption]Perasaan kagum Sarwadi lambat laun berubah menjadi perasaan cinta. Sarwadi jatuh hati karena meskipun memiliki darah ningrat, Kartini tidak sombong. Mau peduli dengan nasib perempuan Jawa. Meskipun sikap Kartini seperti ini dianggap aneh oleh banyak orang. Salah satunya oleh Mujur, sahabat Sarwadi.  

Sarwadi pun meminta Ningrum (Christabelle Grace Marbun),anak semata wayangnya untuk belajar membaca dan menulis kepada ndoro Ajeng Kartini. Ningrum menjadi murid pertama Kartini. Pada pertemuan pertama itu, Ningrum tidak berhasil mengajak kawan-kawannya untuk belajar bersama.

Para orang tua yang memiliki anak perempuan merasa tidak perlu seorang anak perempuan memiliki pendidikan tinggi dan tidak juga membuat perut kenyang dengan belajar membaca. Namun, itu semua tak menyurutkan semangat Kartini untuk tetap mengajar.  

Rutinitas mengajar Ningrum, anak Sarwadi, membuat kedekatan di antara keduanya. Kartini tak canggung untuk berbincang-bincang dan bercerita kepada Sarwadi. Bahkan membacakan berita dari sebuah surat kabar berbahasa Belanda kepada Sarwadi.

Kartini yang terlahir dari istri pertama namun bukan istri utama, mengungkapkan telah terbiasa hidup dengan dua orang ibu. Peraturan kolonial kala itu mengharuskan ayahnya Raden Mas A. A Sosroningrat (Donny Damara), harus menikah dengan seorang bangsawan jika ingin menjadi bupati. Karena peraturan itu, Kartini tidak bisa menyebut Mas Ajeng Ngasirah (Ayu Dyah Pasha) ibu kandungnya, dengan sebutan ibu.

“Kita tidak bisa mengubah asal kita tapi bisa mengubah cara berpikir kita,” kata Kartini.

[caption caption="Kartini memohon pada ayahnya, agar pinangan Bupati Rembang untuk dibatalkan (gambar:trailerMNCPictures)"]

[/caption]Ayah Kartini, R.M.A.A Sosroningrat  memang sudah berpikiran maju dengan mengizinkan seluruh anaknya untuk bersekolah. Meski demikian, adat istiadat saat itu tidak memungkinkan anak perempuan untuk melanjutkan pendidikannya setelah mendapatkan datang bulan pertama. Perempuan harus dipingit sampai ada lelaki yang datang melamar.

Sebagai gantinya, Kartini diizinkan untuk membaca buku-buku dan  melakukan surat menyurat  dengan para teman-temannya yang kebanyakan Bangsa Belanda. Pingitan  seakan membatasi gerak Kartini namun sebenarnya Kartini semakin cerdas melalui kegiatan membaca dan menulis yang dilakukannya.

Kartini ingin sekali mengambil beasiswa ke negeri Belanda. Sayangnya,  lama menunggu, semua itu tidak terwujud. “Jangan sekali-kali  kau gunakan alasan sekolahmu. Bilang saja kamu merasa terkungkung dengan adat istiadat kita,” tuding Pakde Kartini.

Di sisi yang lain, Kartini harus menerima lamaran dari Djoyo Hadiningrat, Bupati Rembang. Lelaki yang sudah beristri tiga dan memiliki enam orang anak. Tidak ada yang bisa dilakukan Kartini untuk menolaknya selain bentuk rasa patuh seorang anak kepada orang tua. Kartini menerima pinangan dengan tiga syarat,s alah satunya adalah minta diizinkan untuk tetap memberikan pendidikan bagi kaum perempuan pribumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun