Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Solusi Sampah Dimulai dari Diri Sendiri

24 Desember 2015   23:59 Diperbarui: 25 Desember 2015   19:18 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

“SELAMAT datang di toserba paling lengkap. Mau apa saja, tinggal pilih dan pasti tersedia. Mau baju, payung, tikar, daun, kertas, botol, dan lainnya,” ucap salah seorang penjaga sebuah Tempat Pembuangan Sampah (TPS) di wilayah Jakarta Timur, seraya tertawa kepada saya saat saya mengunjungi dan melihat hamparan sampah yang ada di TPS tersebut.

 

SAYA tertegun . Ya, apa yang diucapkan petugas yang biasa mengangkut sampah itu bisa dibilang benar adanya. Siapa pun yang melihat tumpukan sampah yang sangat banyak dan beragam pastilah akan mengangguk-angguk mengiyakan. Saya langsung terbayang hiruk pikuk dan menjulangnya tumpukan sampah di TPST Bantar Gebang, Bekasi.

Setiap harinya, penduduk Jakarta dapat menghasilkan lebih dari 6000 ton sampah. Secara keseluruhan, berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup pada rangkaian hari Peringatan Hari Lingkungan Hidup (HLH) Sedunia Tahun 2015 pada Juni 2015 lalu, diperkirakan jumlah peningkatan timbulan sampah di Indonesia telah mencapai 175.000 ton/hari atau setara 64 juta ton/tahun.

Jumlah yang sangat mengerikan bila tidak segera tertangani. Saya tidak bisa membayangkan lautan sampah yang mungkin terjadi. Tidak heran, di setiap kota masalah persampahan menjadi suatu momok yang nyaris sulit terselesaikan, selain banjir dan kemacetan. Sampah di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta juga membuat kebakaran jenggot Gubernur Basuki Tjahja Purnama (Ahok).

Karenanya, saya merasa beruntung dapat turut menghadiri acara Nangkring Kompasiana bersama Kementrian PUPR dengan tajuk "Hadirkan Solusi Seiring Inovasi", pada tanggal 5 Desember 2015 di gedung Heritage, kantor Kementrian PUPR, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang menghadirkan Ir. Arie Setiadi Moerwanto, MSc, (Kepala Litbang PUPR), Ibnu Said (LSM Kemitraan Air Indonesia), dan Dandy Priandana (Kadin Tata Kota Tangsel).

Balitbang (Badan Penelitian dan Pengembangan) Kementrian PUPR yang dikomandoi Ir. Arie Setiadi Moerwanto, MSc, sebagai bagian dari menjalankan visi dan misi Nawa Cita yang dikeluarkan Jokowi-Jk, dituntut mampu mengupayakan membangun (inovasi) langsung memberikan solusi terhadap permasalahan infrastruktur masyarakat. Saat ini, teknologi yang dihasilkan harus bisa langsung diaplikasikan (applied). Suatu produk teknologi yang bisa langsung dipakai oleh pengguna (end user) dan sesuai dengan kebutuhan pasar.

Suatu hal mendasar yang memang sangat diperlukan. Tertarik dan ingin tahu lebih lanjut mengenai hal ini, saya membuka buku layanan dan Produk Litbang PUPR, yang dibagikan saat menjadi peserta nangkring, khususnya mengenai teknologi dan produk pengelolaan sampah yang telah dihasilkan oleh Balitbang PUPR.

Dalam buku tersebut, terdapat enam solusi yang sudah dihasilkan, yakni

1. Komposter

Sistem pengolahan sampah dapur (45%-53%) dari rumah tangga, untuk menghasilkan kompos dengan lama pengomposan 4-6 bulan, dengan mengandalkan mikroorganisme dari sampah yang berada di dalam tanah. Dengan kapasitas 60-100 liter (200 kg sampah), dapat dioperasikan untuk penampungan sampah antara 7-12 bulan per KK (5-6 orang). Bahan yang diperlukan cukup berupa tong plastik belas berdiameter 50X80 cm, pipa PVC D.4, dan kerikil.

2. Model Pemilahan Sampah Rumah Tangga

Menggunakan model komposter putar, dengan menggunakan bahan antara lain drum, baja L dan baja U, Besi beton, rantai sepeda. Metode ini memerlukan pemilahan sampah kering dan sampah basah.

3. Tungku Sanira (Tungku Pembakaran Sampah Nir Racun)

Keunggulan Tungku Sanira adalah menggunakan teknologi Zero Waste, mampu beroperasi 24 jam, menggunakan bahan tungku produk lokal, hemat energi, bisa untuk jenis sampah organik dan anorganik dengan ukuran 10-20 cm, kecuali logam kaca. Memerlukan biaya operasional, lahan seluas 10x15 m, dengan jarak ke permukiman kurang dari 10 meter.

4. TPA Semi Aerobik

TPA yang dapat dikembangkan sebagai reusable landfill dan mining landfill. Kompos hasil penambangan dapat digunakan sebagai bahan penutup timbunan sampah, sehingga keberadaan TPA dapat berkelanjutan. Penimbunan sampah sistem Semi Aerobik dengan menggunakan pipa manifold berdiameter besar (80cm). Sudah diujicobakan di TPA Cikundul, Kota Sukabumi.

5. Teknologi Revitalisasi TPA Open Dumping

Teknologi yang pernah diujicobakan pada TPA Cikundul Kota Sukabumi dan TPA Kota Banjar, dengan konsep revitalisasi TPA ini, memiliki keuntungan menguran gi dampak yang ditimbulkan, mendapatkan tanah penutup dan kompos dari hasil penambangan, dan lahan bekas penambangan yang masih dapat dimanfaatkan kembali sebagai TPA.

6. Model Pengelolaan Sampah Terpadu Berbasis 3 R

Metode pengurangan sampah sejak dari sumbernya hingga ke tempat pembuangan akhir (TPA), dan telah diterapkan di Kota Banjar. Dengan pengelolaan 3 R, tercipta efisiensi pengelolaan sampah kota, menyelesaikan permasalahan sampah organik rumah tangga secara langsung, dan menciptakan peluang usaha serta penghasilan masyarakat.

Menyimak enam produk litbang PUPR yang telah dihasilkan ini, sebenarnya sudah merupakan bentuk teknologi dan inovasi sederhana yang dapat diterapkan di masyarakat. Khususnya, model Pengelolaan Sampah Terpadu Berbasis 3 R (Reduce, Reuse, Recycle). Pengelolaan sampah yang dimulai dengan mencegah timbulnya sampah, menggunakan kembali sampah, dan melakukan daur ulang sampah.  

Saat ini umumnya masyarakat Indonesia juga telah mengenal tiga jenis sampah yang ada, yakni sampah organik (sampah basah dan bahan mudah membusuk), sampah anorganik (sampah kering dan sulit terurai), serta sampah B3 (bahan beracun dan berbahaya).

Masyarakat, terutama di kota besar pun sudah sering melihat adanya dua atau tiga jenis tempat sampah yang diletakkan di pinggir jalan ataupun di dalam taman. Sejumlah perkantoran pun juga menyediakan tempat sampah organik dan anorganik.

Namun demikian, kenyataannya di sisi yang sama saat ini, jika kita melebarkan pandangan mata, di jalan-jalan masih banyak sampah yang bertebaran, bertumpuk di sudut-sudut jalan yang menimbulkan bau tidak sedap dan memancing untuk menutup hidup saat melintasinya. Kenapa hal ini terjadi?

Mengelola sampah belumlah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia. Tidak jarang kita melihat masih banyak yang melakukan pembuangan sampah secara sembarangan tidak pada tempatnya. Tidak risih langsung melempar sampah ke pinggir jalan ataupun ke dalam sungai. Padahal sudah disediakan tempat sampah. Sampah hanya dianggap sekedar ‘sampah’ yang tidak lagi memiliki guna dan hanya menimbulkan masalah lingkungan. Tingkat pemahaman, dan rasa kepedulian masyarakat terhadap sampah masih rendah. Sampah masih dinilai menjadi tugas dari petugas kebersihan dan negara.

Saat sempat bertugas sebagai tenaga pendamping masyarakat Community Development (CD) di sebuah lembaga pengembanan kota, dalam program pengelolaan sampah berwawasan lingkungan dari BPLHD pada tahun 2012 hingga awal tahun 2013, saya melihat pengelolaan sampah masih memerlukan peran tokoh penggerak di tingkat masyarakat, misalnya saja di tingkatan Rukun Warga (RW). Pelakunya pun masih itu-itu saja. Belum berupa kesadaran pribadi secara individu.

Belajar dari Jepang dan Jerman

DALAM pengelolaan sampah, Jepang dan Jerman adalah dua negara yang dapat dijadikan contoh. Keberhasilannya bukan karena menggunakan teknologi pengelolaan sampah yang super canggih ataupun super mahal. Dua negara maju ini menerapkan sistem pemilahan sampah dan daur ulang sampah di masyarakat sehingga mampu menghasilkan sampah yang memiliki nilai ekonomis.          

Keberhasilan Jepang melakukan daur ulang sampah dimulai dari penghasil sampah langsung sehari-hari, yang jika ditotal merupakan penghasil sampah dalam jumlah besar, yakni tingkatan rumah tangga. Pemilahan dan pengumpulan sampah yang dilakukan masyarakat di tingkat rumah tangga dapat mencapai 70-80%. Sampah dipilah menjadi sampah yang dapat didaur ulang (recyclable) seperti PET botol dan kaleng minuman, kertas, dan yang dapat dibakar (combustible).

Seperti halnya dengan Jepang, negara Jerman terbilang sukses dalam melakukan pengelolaan sampah melalui daur ulang . Dalam kurun waktu kurang 15 tahun, Jerman telah mampu meningkatkan persentase daur ulang secara signifikan.

Jika pada tahun 1990, Jerman hanya mampu mendaur ulang sampah sebesar 13 % dan hanya terbatas pada jenis bio-waste, kertas, dan gelas maka pada tahun 2004 angka daur ulang ini meningkat menjadi 56 %. Sampah yang dipilah pun ditambah jenisnya, yakni kemasan. Jerman menjalankan prosedur pemilahan dengan ketat dan konsisten sehingga memberikan hasil yang nyata.

Bagaimana dengan Indonesia? Sistem pengelolaan sampah melalui daur ulang pun sebenarnya juga bukanlah barang baru. Hanya saja, penerapannya tidak semudah yang dibayangkan atau serupa persis dengan yang tertulis di dalam buku-buku panduan pengelolaan sampah yang sudah banyak beredar di masyarakat.

Pelatihan masyarakat dan program pemberdayaan masyarakat dari pemerintah, lembaga swasta, maupun NGO yang membahas mengenai pengelolaan sampah pun sudah sangat banyak jumlahnya. Kenyataannya hingga kini sampah tetap dipandang masalah. Kecanggihan teknologi pengelolaan sampah tidak bisa tidak harus dapat berjalan seiring dengan kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam memandang sampah sebagai sesuatu yang bisa bernilai guna dan bisa dimanfaatkan.

Hasil studi beberapa kota tahun 2012, yang disampaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kehutanan menyebutkan, pola pengelolaan sampah di Indonesia saat ini masih dilakukan dengan cara diangkut dan ditimbun di TPA (69%), dikubur (10%), dikompos dan didaur ulang (7%), dibakar (5%), dan sisanya tidak terkelola (7%).

Permasalahan sampah pun tak tuntas dengan kehadiran laskar mandiri sebagai sebutan apik dari pemulung. Keberadaan pemulung memang dinilai cukup membantu proses pemilahan sampah organik dan anorganik. Namun sayangnya, para pemulung ini hanya terbatas mencari dan memilih sampah yang bisa dijual kembali dan dianggap memiliki nilai harga jual, seperti botol kemasan dan kardus.

Sampah organik yang berasal dari sisa-sisa material hidup dan mudah membusuk tidak terurusi. Jumlahnya semakin banyak dan menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) ataupun di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST). Bercampur baur dengan sampah elektronik, sampah limbah B3 (beracun dan berbahaya).

 

Cara Pandang Tentang Sampah

KESADARAN masyarakat untuk mencegah semakin banyaknya timbunan sampah sebelum sampai ke TPA perlu ditingkatkan. Cara terefektif adalah dengan mengubah cara pandang terhadap nilai guna dan nilai ekonomi sampah dengan melakukan daur ulang.

Undang-undang nomor 18 tahun 2008 mengenai pengelolaan sampah telah menitikberatkan pada pengelolaan sampah secara 3 R (Reduce, Reuse, dan Recycle). Penanganan sampah tidak hanya sekedar kumpul, angkut, dan buang.

Sampah organik, anorganik, dan B3 hanya akan terlihat sebagai sampah tidak berguna jika bercampur baur tidak karuan menjadi satu. Nilai ekonomisnya pun hanya nol rupiah. Sampah baru dianggap memiliki nilai manfaat dan nilai rupiah jika berada dalam kondisi terpisahkan sesuai dengan jenisnya dalam keadaan bersih.

Cara pandang mengenai nilai ekonomis sampah dapat menimbulkan semangat pemilahan sampah di masyarakat meski dalam penerapannya pun masih memerlukan dukungan dari pihak pemerintah dan swasta. Tidak bisa hanya dari masyarakat umum saja.

Pemilahan sampah organik dan anorganik yang dilakukan di tingkatan komunitas masyarakat, seperti di tingkatan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) mampu meminimalkan jumlah sampah yang sampai di TPA.

Sampah organik dapat diolah menjadi kompos yang bermanfaat. Sampah anorganik dapat dikelola menjadi berbagai bahan menguntungkan. Kemasan bungkus plastik dan kertas dapat dijadikan barang kerajinan ataupun dijual kepada penampungan barang bekas.

Pemilahan sampah menjadi solusi terjitu yang sangat memungkinkan dapat dilakukan dengan minimalisasi biaya. Hal ini selaras dengan rencana tidak diizinkannya lagi pembuangan sampah rumah tangga dan sejenisnya, serta residu ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) pada 2025.

Jadi, solusi teknologi apa yang tepat untuk mengatasi permasalahan sampah? Menurut saya, bukanlah teknologi canggih dan mahal. Cara sederhana dan termurah yang sudah ada namun belum efektif dilaksanakan, yakni melalui pemilahan sampah dari awal penggunaan suatu barang hingga akhir pemakaian.

Mengenai inovasi, pernyataan Ir Arie Setiadi Moerwanto, Kepala Balitbang PUPR dalam majalah dinamika Riset edisi I tahun 2015 yang mengatakan Balitbang PUPR harus belajar dari ‘Toyota Kijang’, yang diawali dari model kotak menjadi sebuah kijang innova, perlu digarisbawahi.    

Menurut saya, produk Litbang PUPR yang telah ada saat ini tinggal dimaksimalkan penerapannya di masyarakat. Produk yang sesuai dapat terus dilanjutkan, direvisi, ataupun digabungkan penerapannya dengan kegiatan bisnis. Dalam penerapannya di masyarakat, Balitbang PUPR dapat bekerja sama dengan sejumlah institusi terkait yang menangani persampahan, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Kebersihan dan Pertamanan.

Selain itu juga menggaet paguyuban lingkungan dan kelompok masyarakat di tingkatan kota dan kabupaten program Balitbang diterapkan secara nyata, salah satunya melalui program pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan dan tidak terputus-putus pada tahun anggaran pendanaan. Selain itu, semoga saja peresmian "Pintu" (Pusat Informasi Terpadu) balitbang pupr dapat lebih produk berkualitas yang menyentuh masyarakat.

Di tingkatan masyarakat, pemilahan sampah seperti melalui sistem Bank Sampah layak diujicobakan di tiap tingkatan Rukun Warga. Melalui sistem Bank Sampah, bukan hanya terpilah sampah organik dan anorganik melainkan kesadaran masyarakat dapat terbangun sekaligus memperoleh keuntungan melalui tabungan sampah.Namun, pembangunan Bank Sampah perlu memperhatikan kiprah bank sampah yang berhasil karena tidak semua berada dalam kondisi aktif.  

Bagaimana dengan kita sebagai individu? Mulailah kesadaran pengelolaan sampah dari diri sendiri. Saya sendiri akan memulainya dari yang sederhana, yakni berdisiplin membuang sampah pada tempatnya sesuai dengan jenisnya, membatasi penggunaan kantung plastik, menggunakan barang yang dapat didaur ulang.

Jika memungkinkan, belajar untuk memilah sampah, membuat kompos, dan membuat kerajinan dari sampah. Buang rasa gengsi bergaul dengan sampah. Jika hal ini bisa dilakukan, sampah tidak lagi menjadi masalah melainkan menjadi teman bernilai ekonomis. TPA pun tidak lagi menjadi Toserba yang menampung semua barang buangan! (#windhu)

 

Sumber :

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun