Mohon tunggu...
Ni Kadek Ria Oktaviani
Ni Kadek Ria Oktaviani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Life is music

Mahasiswa Undiksha

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Makna Urutan Upacara Hari Raya Galungan

8 November 2021   15:13 Diperbarui: 9 November 2021   10:55 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : Suasana hari raya Galungan di Desa Gobleg

Galungan berasal dari  Jawa Kuno yang berarti menang. Kata Galungan juga mempunyai makna yang sama dengan "Dungulan" yang berarti menang. Galungan memberikan suatu pemahaman bahwa niat dan usaha yang baik pasti akan menang, apabila dibandingkan dengan niat dan usaha yang buruk.

Hari raya Galungan merupakan hari dimana umat Hindu memperingati terciptanya alam semesta jagad raya beserta segala isinya. Serta merayakan kemenangan kebaikan (dharma) melawan kejahatan (adharma).

 Selain itu, hari raya Galungan juga sebagai ucapan syukur, yang dimana umat Hindu memberi dan melakukan persembahan pada Sang Hyang Widhi dan Dewa Bhatara (dengan segala manifestasinya). Salah satu persembahan kehadapan dewa Bhatara yakni terpasangnya penjor di tepi jalan (setiap rumah sendiri) yang merupakan persembahan ke hadapan Bhatara Mahadewa.

Hari raya Galungan diperingati setiap 6 bulan sekali (210 hari) dan berdasarkan perhitungan pawukon yang jatuh pada hari Budha, pancawara Kliwon, wuku Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan). 

Dalam perayaan hari raya Galungan identik dengan penjor yang dipasang di tepi jalan dan menghiasi jalan raya yang memiliki nuansa alami. Penjor merupakan bambu yang dihias sedemikian rupa sesuai dengan tradisi masyarakat Bali setempat.

Sebelum puncak perayaan upacara Galungan terdapat sejumlah rangkaian atau urutan kegiatan upacara keagamaan. Adapun makna  urutan upacara hari raya Galungan adalah sebagai berikut :

1. Tumpek Pengatag (Tumpek Wariga)

Tumpek Pengatag (Tumpek Wariga) dilaksanakan 25 hari sebelum hari raya Galungan, tepatnya pada hari Saniscara (Sabtu), Kliwon wuku Wariga. Pada hari Tumpek Pengatag (Tumpek Wariga) melakukan persembahan kepada Sang Hyang Sangkara yang merupakan manifestasi Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran dan Keselamatan Tumbuh-tumbuhan.

Perayaan Tumpek Pengatag (Tumpek Wariga) merupakan suatu wujud cinta kasih manusia terhadap tumbuhan. Adapun tradisi Umat Hindu untuk merayakan Tumpek Pengatag (Tumpek Wariga) yakni dengan menghaturkan banten (sesaji) berupa Bubuh (bubur) Sumsum yang berwarna, seperti berikut :

  1. Bubuh putih untuk umbi-umbian
  2. Bubuh bang untuk padang-padangan
  3. Bubuh gadang untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara generatif
  4. Bubuh kuning untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara vegetatif

Pada hari Tumpek Pengatag (Tumpek Wariga) semua pohon akan disirami tirta wangsuhpada/air suci yang dimohonkan di sebuah Pura/Merajan dan diberi banten (sesaji) berupa bubuh yang telah dibuat disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh dan diisi sasat.

2. Sugihan Jawa

Sugihan Jawa dilaksanakan 6 hari sebelum hari raya Galungan, tepatnya setiap hari Wrhaspati (Kamis) Wage wuku Sungsang. Sugian Jawa berasal dari 2 kata yakni Sugi dan Jawa. Sugi yang berarti bersih, suci. Sedangkan Jawa berasal dari kata jaba yang berarti luar. Sehingga secara singkat pengertian Sugihan Jawa ialah hari sebagai pembersihan/penyucian segala sesuatu yang terdapat di luar diri manusia (Bhuana Agung) atau alam semesta (makrokosmos).

Pada hari Sugian Jawa Umat Hindu melaksanakan upacara yang disebut dengan Mererebu atau Mererebon. Upacara Ngerebon ini dilaksanakan dengan tujuan untuk nyomia/menetralisir segala sesuatu yang bersifat negatif yang berada pada Bhuana Agung dan disimbolkan dengan pembersihan Merajan, dan Rumah. 

Pada upacara Ngerebon ini, di lingkungan Sanggah Gede, Panti, Dadya, hingga Pura Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa akan menghaturkan banten semampunya. Untuk wilayah pura biasanya akan membuat Guling Babi sebagai haturan atau persembahan, yang nantinya setelah selesai upacara daging babi itu akan dibagikan kepada masyarakat sekitar.

3. Sugian Bali

Sugihan Bali dilaksanakan 5 hari sebelum hari raya Galungan, tepatnya setiap hari Sukra (Jumat) Kliwon wuku Sungsang. Sugian Bali memiliki makna yakni penyucian/pembersihan diri sendiri (mikrokosmos) atau Bhuana Alit, agar bersih dari perbuatan-perbuatan yang ternoda atau pembersihan lahir dan batin. Tata cara pelaksanaan Sugian Bali yaitu dengan cara mandi, melakukan pembersihan secara fisik atau melukat, dan memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih sebagai simbolis penyucian jiwa raga untuk menyambut hari raya Galungan yang sudah semakin dekat.

4. Hari Penyekeban

Hari Penyekeban Galungan dilaksanakan 3 hari sebelum hari raya Galungan, tepatnya pada hari Redite (Minggu) Pahing wuku Dungulan. Hari Penyekeban ini memiliki makna  secara filosofis untuk "nyekeb indriya" yang berarti manusia harus bisa mengekang atau menahan diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama. 

Selain itu, biasanya umat Hindu juga diikuti dengan melakukan "nyekeb" buah-buahan terutama buah pisang agar dapat matang saat digunakan sebagai perlengkapan upacara Galungan.

5. Hari Penyajan Galungan

Hari Penyajan Galungan dilaksanakan 2 hari sebelum hari raya Galungan, tepatnya pada hari Soma (Senin) Pon wuku Dungulan. Penyajan berasal dari kata Saja, dalam bahasa Bali artinya benar, serius.  Hari Penyajan ini secara filosofis, umat Hindu harus dapat memantapkan diri  untuk melaksanakan hari raya Galungan. 

Hal ini dikarenakan, pada hari Penyajan Galungan umat Hindu akan mulai digoda melakukan perbuatan adharma oleh Sang Bhuta Dungulan dengan tujuan untuk menguji sejauh mana tingkat pengendalian diri umat Hindu ketika melangkah lebih dekat menuju hari raya Galungan. 

Selain itu, pada hari Penyajan Galungan juga dipergunakan sebagai hari persiapan membuat jajan oleh masyarakat umum yang akan digunakan saat hari raya Galungan.

6. Hari Penampahan Galungan

Hari Penampahan Galungan dilaksanakan sehari sebelum hari raya Galungan, tepatnya pada hari Anggara (Selasa) Wage wuku Dungulan. Pada hari Penampahan Galungan, umat Hindu akan disibukkan dengan pembuatan "penjor". Yang dimana pembuatan dan pemasangan penjor sebagai ungkapan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugrah yang telah diberikan selama ini. 

Penjor dibuat dari batang bambu yang melengkung panjang yang dihiasi dengan rangkaian janur. Selain itu Penjor juga dilengkapi dengan beberapa hasil pertanian seperti kelapa, padi, pisang dan lainnya. Penjor memiliki makna filosofis sebagai simbol kesejahteraan dan kemakmuran.

Pada hari Penampahan, umat Hindu juga menyembelih hewan babi yang dagingnya akan digunakan sebagai pelengkap upacara. Penyembelihan hewan babi ini memiliki makna simbolis, yang dimana hewan babi secara umum memiliki sifat malas, serakah dan kotor. 

Oleh sebab itu, hewan babi dipilih untuk disembelih agar sifat-sifat tersebut dapat hilang dan dijadikan banten (sesaji) dengan tujuan agar umat Hindu yang akan melakukan perayaan hari raya Galungan terhindar dari sifat-sifat tersebut.

7. Hari Raya Galungan

Pelaksanaan hari raya Galungan dimulai dari pagi hari. Yang dimana dimulai dari persembahyangan di rumah masing-masing hingga ke Pura yang ada di sekitar lingkungan. 

Tradisi yang sering kita jumpai pada hari raya Galungan ialah Tradisi "Pulang Kampung", dimana umat Hindu yang merantau akan menyempatkan diri untuk melakukan persembahyangan ke daerah kelahirannya.

Selain ke Pura, umat Hindu yang memiliki anggota keluarga yang berstatus dikubur atau belum ngaben, wajib membawa banten (sesaji) ke kuburan saat hari raya Galungan.

8. Hari Umanis Galungan

Sehari setelah hari raya Galungan terdapat hari raya Umanis Galungan, tepatnya pada hari Wrhaspati (Kamis) Umanis wuku Dungulan. Pada hari ini, umat Hindu melaksanakan Dharma Santi dan saling mengunjungi sanak saudara atau tempat rekreasi.

Biasanya pada hari Umanis Galungan anak-anak akan melakukan tradisi ngelawang, dimana anak-anak menarikan barong yang disertai dengan gambelan dari pintu rumah masyarakat yang satu ke yang lainnya (Lawang ke Lawang). 

Masyarakat yang mempunyai rumah tersebut akan keluar dari rumah sambil membawa canang dan sesari/uang. Hal ini dikarenakan masyarakat memiliki kepercayaan bahwa tarian Barong ini dapat mengusir segala aura negatif dan mendatangkan aura positif.

Rangkaian atau urutan dari upacara hari raya Galungan tidak berhenti sampai disini. Hal ini dikarenakan masih terdapat rangkaian upacara keagamaan lain hingga satu bulan ke depan. 

Dimana pada hari Sabtu terdapat hari Pemaridan Guru yang dimana hari tersebut  bentuk penyembahan kepada  Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Guru. Kemudian di hari Minggu terdapat hari Ulihan, dimana pada hari ini para dewa-dewi/leluhur kembali ke kahyangan dengan meninggalkan berkat dan anugrah panjang umur.

Rentang lima hari setelah hari raya Galungan dikenal dengan hari Pamacekan Agung dan hari raya Kuningan pada hari kesepuluhnya. Akhir dari rangkaian upacara keagamaan ini yaitu dengan melakukan pencabutan Penjor kemudian dibakar dan abunya dimasukan ke kelapa muda gading, lalu di tanam di belakang Pelinggih Rong Telu tepat 42 hari setelah hari raya Galungan.

 

Nama : Ni Kadek Ria Oktaviani

NIM : 2111031119

Jurusan : Pendidikan Dasar

Prodi : S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun