"Twenty years from now you will be more disappointed the things you didn't do then by the ones you did do"
-Mark Twaint-
Kali ini aku melanjutkan perjalanan dari rangkaian #40HariKelilingAsiaTenggara menuju Bagan. Aku melakukan perjalanan ini karena menikmati status "single".
Aku berpikir tidak ada yang peduli dengan status kesedirianku sehingga membuatku bebas melakukan apa saja selama tidak melanggar aturan. Mau pergi ke manapun, mau ketemu dengan siapa pun tidak ada yang melarang-larang. Ok! Berikut ini cerita perjalanan selama berada di Bagan, Myanmar.
Aku pernah baca, bahwa tak banyak yang tahu soal kota kecil yang terletak di tengah Myanmar ini. Padahal, Marcopolo pernah menyebutnya sebagai kota yang dipenuhi gemerincing bel dan desiran jubah para biksu.
Minggu (28 Januari 2018), di sepertiga malam (pukul 03.00 AM), dinginnya udara saat itu dan aku sedang dalam keadaan tidur tiba-tiba dibangunkan oleh kondektur bus kemudian mengatakan Bagan.
Aku diturunkan di SPBU, langsung dikerubuti oleh supir taksi dan tukang ojek. Parahnya, mereka berbicara dalam bahasa Myanmar. Bahasa Inggris pun, ada yang aku mengerti dan tidak aku mengerti. Keadaanku saat itu, masih mengantuk, menggigil, meskipun telah menggunakan jaket dan takut karena langsung dikerubuti oleh orang-orang yang tidak aku kenal.
Aku terdiam, bingung apa yang harus aku lakukan. Lalu menghela nafas, saat itu helaan nafas lebih indah daripada gema tawa. Solusinya aku memperlihatkan alamat hostel tujuanku yakni Golden Crown Motel dan tukang ojek tersebut mengantarkanku ke hostel dengan selamat.
Di perjalanan menuju hostel, si bapak (tukang ojek) memberhentikan sepeda motornya. Rupanya aku harus membeli tiket masuk Bagan Archaelogical Zone seharga 25.000 kyat per orang selama lima hari.
Dia juga yang berbaik hati membangunkan resepsionis hostel, agar aku bisa beristirahat. Jika aku menunggu di teras hotel, dia takut aku kedinginan. Untuk harga ojek, dia memberiku harga yang seharusnya.
Bagiku si tukang ojek telah memperlakukanku dengan sopan dan melayaniku dengan ramah. Meskipun kedatanganku pukul 03.30 AM, resepsionis hostel tetap menerimaku. Atas kebaikan resepsionis hostel, aku dipersilahkan untuk beristirahat di kamar belakang (sedikit infonya kamarnya bersih dengan dua buah tempat tidur kemudian dilengkapi AC serta kamar mandi yang bersih) sambil menunggu waktu check in jam 11.00 AM.
Sedikit informasi yang aku dapatkan sebelum mengunjungi Bagan dari google. Bagan merupakan suatu kawasan dengan luas 104 Km. Di sana, terdapat sekitar 2.000 pagoda yang dibangun pada abad 9-13 Masehi. Bagan berada di dataran sisi timur Sungai Irrawady. Bagan memiliki ribuan pagoda yang menghiasi luasnya. Puncak-puncak pagoda dengan warna sebagian besar emas menyala terlihat mencolok di dataran itu.
Pukul 11.00 AM setelah check in, aku pun langsung bersiap-siap untuk mengeksplor Bagan. Ough iya aku dilanda rasa lapar. Karena aku belum melihat warung makan, maka aku mengatakan ke resepsionis hostel, "Apakah dia memiliki roti, karena aku sangat lapar?"
Resepsionis hote menjawab, ada roti mau berapa banyak? Aku jawab "cukup 2 buah aja". Resepsionis memberikanku dua buah roti + selai stroberi. Aku menerima roti tersebut dan tak lupa aku mengucapkan terima kasih.
Perjalanan pertama, aku lebih memilih berjalan kaki. Berdasarkan peta yang aku dapatkan di hostel. Bagan di bagi menjadi tiga tempat yakni Nyaung U, New Bagan dan Old Bagan. Hostel tempatku menginap berada di Nyaung U. Bagiku Bagan, membuatku tidak bisa berkata-kata. Aku menyusuri trotoar, temple, candi dan pagoda bertebaran di mana-mana. Sampai membuatku bingung.
Aku mendatangi temple, di salah satu temple aku bertemu dan berkenalan dengan cewek dari China namanya Esther Wang dan menawariku untuk bergabung dengannya. Karena dia seorang diri.
Akhirnya aku punya kawan tuk mengeksplore keindahan New Bagan dan Old Bagan dengan tidak berjalan kaki. Bersama Esther Wang aku mendatangi Htilominlo Temple dan Khaymingha. Letak keduanya berdekatan dan tentu saja menarik.Â
Htilominlo Temple dibangun pada tahun 1218 dan tingginya mencapai 46 meter. Nah Khaymingha lebih kecil. Di Htilominlo, aku bertemu dengan perempuan suku Karen. Itu loh suku yang terkenal dengan leher panjang karena dikalungi besi. Saat itu, perempuan itu sedang membuat syal (mirip pashimina).
Temple ini bercatkan putih. Entahlah putih adalah warna aslinya atau ini merupakan restorasi yang dilakukan setelah terkena gempa. Yang pasti, temple ini sangat indah. Informasi yang aku dapatkan temple ini sempat dijuluki sebagai Westminster Abbey-nya Burma.
Ananda temple dibangun tahun 1105. Lebih besar dari Htilominlo Temple. Selain temple ini besar, pelatarannya juga luas. Arsitektur Ananda Temple ini bersumber dari Arsitektur India Utara.
Seluruhnya dibangun pada abad ke 10 hingga ke 14 sebelum Masehi. Sampai sekarang candi-candi, temple-temple ini masih berdiri kokoh dan menjadi spot yang ramai dikunjungi oleh wisatawan baik untuk melihat matahari terbit atau terbenam atau menjadikannya spot untuk berfoto. Mengakhiri perjalanan hari ini aku mengunjungi Buu Phaya dan menikmati sunset.
Senin (29 Januari 2018) setelah melaksanakan sholat subuh aku menbangunkan Cristobal dan Parsa. Kemudian bergegas menyewa e-bike seharga 5000/kyat bersama Cristobal dan Parsa aku menuju lokasi temple untuk menyaksikan sunrise. Tak lupa jaket, aku menikmati dingin dalam perjalanan menuju Lawkaoushang Temple.
Bersamaan dengan itu aku melihat burung-burung melintas pada langit yang jingga pagi itu. Aku tiba-tiba terdiam dan tak mampu berkata-kata. Aku terpesona. Dan dalam hati aku mengucapkan permintaanku. Pagi itu permintaanku sangat sederhana, Ya Tuhanku izinkanlah aku kembali lagi ke tempat ini suatu hari nanti bersama pasangan jiwaku. Amin11x.
Masyarakat telah memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam kemajuan pariwisata salah satunya adalah rasa aman bagi wisatawan. Sepertinya ini sebuah pesan bahwa kota kami aman bagi para wisatawan dan kami adalah orang-orang yang ramah, maka berkunjunglah ke tempat kami.
Setelah mengunjungi Yangon, Nyaungshwe dan Bagan aku menarik kesimpulan bahwa ada hal yang unik di kota ini. Di tiga kota itu, aku melihat perempuan dan laki-laki selalu memakai laungyi (sarung khas Myanmar), mau tampan atau cantik bagaimanapun mereka akan menggunakan tanaka tanaka (bedak khas Myanmar), bersepeda, selalu membawa rantang yang berisi makan siang dan di kota Yangon tidak ada sepeda motor.
Ough iya di Myanmar juga ada aroma yang lain-lain. Waktu di Yangon, Inle, Bagan dan terakhir waktu aku di Mandalay (dari Bagan aku menuju Mandalay) aromanya sama semua. Aromanya itu mirip-mirip campuran bunga-bunga atau buah-buahan busuk dengan pinang baik itu buah atau daunnya.
Di jalan-jalan juga banyak ludah pinang. Aku ingat saat perjalanan ke airport di Mandalay, pas di lampu merah bapak supir dengan cueknya membuka pintu mobil terus meludah. Ada lagi, kondektur bus dari Bagan-Mandalay, ludah pinangnya dia tampung di bekas kemasan air mineral. Aku yang lihat aja pengen muntah euy.
Pengalaman beberapa hari di Myanmar seperti melihat kehidupan warga lokal, menikmati milk tea di street food, terus aku dipakein longyi (waktu menyusuri Inle lake), berbaur dengan penjual bunga dan buah-buahan di pasar membuatku bersyukur.
Dari mereka, seakan aku diingatkan bahwa kehidupan ini keras dan membutuhkan perjuangan. Di Myanmar banyak hal nyata yang mungkin saja jauh dari sempurna tetapi sangat indah.
Terakhir, bagiku Myanmar bukan hanya indah pemandangannya tetapi jadi lebih tidak terlupakan karena keindahan hati orang-orangnya. Doaku, semoga konflik yang ada di negara tersebut segera berakhir. Amien11x.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H