Setelah menyelam, aku duduk di pantai menikmati siang menuju sore. Aku mengamati sekelilingku, tampak anak-anak yang sedang berlarian di pinggir pantai bahagia sekali, aku sangat suka memperhatikan kerumunan orang banyak. Aku menikmati kesendirianku di tengah keramaian manusia. Menjelang matahari terbenam, waktunya kembali ke pulau Banda.
Hari kedua, aku mengawali hari ini dengan lari pagi di pulau Banda Neira. Tujuan hari ini adalah ke Lonthoir. Matahari pagi mulai meninggi, langit cerah dihiasi taburan awan yang menggumpal, mesin kapal pun sudah menyala. Tidak sabar rasanya ingin segera menyaksikan pesona keindahan di sekitar Lonthoir.
Dari benteng Hollandia, di depanku pemandangan gunung api Banda, laut biru dan permukiman Lonthoir. Aku terdiam dan menikmati keindahan yang diciptakanNya. Tak terasa ada hangat yang menggumpal di kedua sudut mataku.
Rumah Bung Hatta masih berdiri megah. Di mulai dari selasar yang berisi kursi dan papan tulis tempat beliau biasa mengajar anak-anak, ada mesin ketik yang saat itu menjadi alat 'perangnya' ada juga peci dan kacamatanya. Aku juga sempat melihat surat beliau yang ditujukan kepada istrinya, ibu Rahmi Hatta. Â Barang lainnya seperti jas, rak buku, rak pakaian, ranjang, pakaian, foto-foto beliau, peralatan makan, kendi dan lainnya.
Tujuan selanjutnya adalah rumah budaya. Rumah budaya terletak tepat di depan Delfika guest house. Di dalam rumah budaya terdapat berbagai catatan sejarah, banyak terdapat barang-barang peninggalan VOC seperti keramik, meriam, lukisan mengenai situasi pada zaman itu dan mata uang. Pada ruang utama museum tergantung sebuah lukiasan yang menceritakan tentang pembantaian orang-orang di Banda pada tahun 1621.
Sun Tian Kong merupakan satu-satunya klenteng yang ada di Banda Neira. Tampak luar, klenteng ini sangat tertutup dengan pintu berwarna merah terang. Waktu itu aku mencium bau dupa dari dalam klenteng. Informasi yang aku dapatkan dari ibu penjual kenari, bahwa klenteng ini dibangun sebelum Belanda datang sekitar tahun 1500-an. Di dalam klenteng terdapat patung Dewi Kham Im, Dewa Kwan Kong dan Dewa Hok Sen. Aku tidak sempat memasuki klenteng ini, jika ingin masuk harus bertemu dulu dengan sang juru kunci.
Di dekat kantor camat terdapat sebuah gereja Tua Hollandische Kerk, terdapat empat pilar yang besar. Dari berbagai sumber , bahwa gereja ini dibangun pada 20 April 1873 dan diresmikan pada 23 Mei 1875 oleh dua orang misionaris Belanda bernama Maurits Lantzius dan John Hoeke. Dindingnya didirikan di atas tiga puluh batu nisan yang di atasnya di ukir nama-nama dan kata dalam bahasa Belanda.Â
Dari hasil cerita-cerita dengan Cici dan teman-temannya bahwa bangunan ini merupakan saksi bisu peradaban Neira selama berabad-abad. Tahun 1998, ketika terjadi kerusuhan Ambon gereja ini sempat dirusak tapi Alhamdulillah telah diperbaiki dan kini tetap kokoh berdiri. Â Ough iya di gereja tua ini terdapat juga lonceng kuno yang terbuat dari bahan tembaga yang sampai saat ini hanya tersisa empat buah di seluruh dunia.