Mohon tunggu...
Irma Sabriany
Irma Sabriany Mohon Tunggu... Freelancer - Berani, mengagumkan, kekanak-kanakan, suka jalan-jalan, mandiri punya gaya ngomong yang sopan, lucu, cuek

Berani, mengagumkan, kekanak-kanakan, suka jalan-jalan, mandiri punya gaya ngomong yang sopan, lucu, cuek

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Banda Neira, Pulau Indah Warisan Sejarah

8 Januari 2018   09:41 Diperbarui: 9 Januari 2018   08:47 1936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan dari Benteng Hollandia (dok. pribadi)


Mutiara dari Timur, begitulah bangsa Eropa menjuluki Nusantara yang dulu dikenal dengan Hindia Timur dikarenakan kejayaan dan kekayaan rempah-rempah terutama dari Maluku. Kejayaan dan kekayaan rempah-rempah tersebut merupakan salah satu faktor kedatangan bangsa Barat untuk menjelajah, berpetualang, berlayar hingga akhirnya memutuskan untuk menjajah Nusantara selain dikarenakan terjadinya Perang Salib ataupun jatuhnya Konstatinopel ke Turki Utsmani. 

Harga rempah-rempah Nusantara dibeli dengan harga murah dan berkualitas terbaik. Pada sekitar abad ke 14 mereka memonopoli pasar rempah Indonesia, membeli dengan harga rendah dari para petani Indonesia dan menjual dengan harga tinggi kepada para pedagang di Eropa. Rempah-rempah tersebut diandalkan bangsa Eropa sebagai obat-obatan, bumbu makanan atupun pengawet bahan makanan. Sebagai wilayah yang belum berdaulat dan pasar terbuka, Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda melihatnya sebagai sebuah peluang untuk menguasai kelimpahan Mutiara dari Timur.

Adalah buah pala yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para penjajah hingga mereka rela mengarungi lautan beribu-ribu kilometer untuk menguasai perdagangannya. Di Banda Neira, jika berjalan-jalan sambil menikmati bangunan yang berarsitektur Eropa peninggalan abad 17-an maka di kanan dan kiri akan terlihat  jemuran pala yang melimpah ruah.

Banda Neira, Pulau yang termasuk ke dalam wilayah propinsi Maluku, ternyata menyimpan sejuta keindahan dan sejarah di dalamnya. Mulai dari keindahan alam, tempat bersejarah dan kelezatan selai palanya.

Juni 2017, ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di propinsi Maluku Utara, aku berdoa semoga aku bisa mengunjungi Morotai dan Banda Neira. Aku percaya saja, Tuhan mengenggam semua doaku. Lalu dilepaskanNya satu persatu di saat yang paling tepat. Maka setelah jalan-jalanku  selesai dari Morotai, aku pun membuat rencana operasional perjalanan (ROP) ke Banda Neira. Mulailah aku mencari tiket pesawat dan mengajukan cuti. Tak lupa aku menghubungi teman-teman seperti Kak Saleh Ramelan, Kak Agus Salim dan La Ode Maruf terkait perjalananku ke Ambon kemudian Banda Neira.

Dengan menumpang kapal cepat dengan tariff Rp. 410.000. Pukul 09.21 WIT perjalanan dari pelabuhan Tulehu (Ambon) menuju Banda Neira dengan waktu tempuh 7 jam. Bosan? Tentu saja tidak. Untuk mengusir rasa bosan, aku memilih menikmati hamparan laut biru, menikmati camilan dan bersosialisasi dengan orang-orang yang berada di dekatku. Pukul 14.00 WIT, rasanya aku sudah tidak sabar untuk menginjakkan kakiku di pulau sejarah nan cantik ini, Banda Neira.

Pukul 16.21 WIT aku tiba di pelabuhan Banda Neira. Aku langsung mengaktifkan HP dan seseorang menelponku mengatakan aku yang menjemputmu di pelabuhan Banda Neira. Risty Fadilah Ramalan atau biasa di panggil Cici dan oleh kawan-kawannya di pulau Banda Neira dipanggil John adalah orang yang menjemputku di pelabuhan. Cici merupakan sepupu dari Kak Saleh Ramelan.  Aku sangat menyukai aroma laut dan bagiku aroma pulau Banda Neira yang menyegarkan telah menusuk penciumanku.

Pulau Banda merupakan pulau yang sarat dengan sejarah. Pulau Banda mencatat sejarah dengan diasingkannya empat orang pahlawan besar bangsa yakni Mohamad Hatta, Sutan Syahrir, dr. Tjipto Mangunkusumo dan Iwan K. Sumantri agar terisolir dari dunia internasional.

Hari pertama berada di Banda Neira, Cici mengajakku mengunjungi pulau Hatta. Pulau Hatta menawarkan dua sensasi keindahan bawah lautnya dengan gugusan karang dan berbagai jenis ikan yang bisa dilihat seperti hammerhead. Untuk mencapai pulau Hatta aku menggunakan kapal kayu dengan biaya Rp. 100.000 untuk dua orang plus dapat makan siang. 

Perjalanan dari Pulau Banda menuju pulau Hatta aku melihat atraksi lumba-lumba. Tiba di pulau Hatta, aku mengabaikan terik matahari bersama Cici. Aku menyusuri pulau Hatta. Aku melihat dive center, maka singgahlah pada awalnya sekedar berbasa-basi hingga aku berniat menyelam.

Tak lengkap rasanya bila tak merasakan sensasi bawah laut Pulau Hatta, merasakan atraksi menarik ikan-ikan itulah pesan dari seorang Abdi Hasan juniorku di kelautan UH. Adapun biaya sekali dive yakni Rp. 500.000/orang. Titik penyelaman luar biasa banyak. Bahkan menurut referensi yang aku terdapat lokasi bertelur penyu. Entah mengapa, ikan disini luar biasa banyak. Bukan saja ikan mungil nan imut yang suka menyelinap di coral, ikan-ikan besar yang pantasnya terhidang di atas piring ribuan jumlahya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun