Mohon tunggu...
Irma Sabriany
Irma Sabriany Mohon Tunggu... Freelancer - Berani, mengagumkan, kekanak-kanakan, suka jalan-jalan, mandiri punya gaya ngomong yang sopan, lucu, cuek

Berani, mengagumkan, kekanak-kanakan, suka jalan-jalan, mandiri punya gaya ngomong yang sopan, lucu, cuek

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Delapan Bulan di Perbatasan

31 Desember 2015   15:29 Diperbarui: 31 Desember 2015   15:59 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah kisahku selama delapan bulan hidup di perbatasan. Setelah menyelesaikan pendidikan di sebuah perguruan negeri di Bandung pada 2015, kuputuskan melamar di Destructive  Fishing Watch (DFW) Indonesia. Tahun itu, DFW Indonesia membuka program pendampingan sarana dan prasarana di Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) yang bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)

Indonesia memiliki 92 pulau kecil terluar, tapi yang berpenduduk sebanyak 31 pulau. Aku ditempatkan di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara yang berbatasan dengan India, meski yang kuharapkan di Pulau Brass atau Pulau Alor.

Mei 2015, dari Bandung aku pun menuju Soekarno Hatta International Airport (SHIA) dan selanjutnya ke Bengkulu. Dari Land of Rafflesia tersebut, Pulau Enggano dapat dicapai via laut dan udara. Harusnya aku ke pulau tujuan melalui udara, tapi karena miskomunikasi dengan Kak Tono, sehingga harus mengarungi Samudera Hindia dan bertemu dengan dewa-dewa laut dengan kapal ferry Pulo Tello. Kak Tono, panggilan untuk seniorku di kampus Unhas, Tono Nobunaga yang bekerja di DFW.

Di kapal ferry, sebenarnya mendapatkan kamar. Hal ini berkat bantuan seorang anggota TNI AL, tetapi tidak kutempati. Aku lebih memilih duduk di depan cafeteria. Kenapa aku memilih lokasi ini? Aku butuh sedikit keramaian di cafeteria, hingga pasti akan ada yang akan duduk di dekatku. Saat itulah, aku akan menggunakan ilmu “sosped” untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang Pulau Enggano.  “Sosped” adalah sebutan untuk bersosialisasi dengan orang yang kenal dengan sebuah lokasi tertentu di pedesaan. Cara bergaul efektif ini diturunkan dari ilmu ‘Sosiologi Pedesaan’.

Pulau Enggano merupakan salah satu pulau kecil yang memiliki begitu banyak keterbatasan,  terutama berkomunikasi dengan dunia luar. Hanya ada satu BTS milik Telkomsel yang bagus.  Sinyal ponsel hanya ada di Desa Malakoni, Apoho, dan Meok. Tiga desa lainnya yakni Kahyapu, Kaana, dan Banjarsari, signal hanya di tempat-tempat tertentu saja, kalau beruntung. Jaringan internet itu hanya impian, karena sedemikian sulitnya melihat batang signal yang penuh.

Sarana kesehatan merupakan keterbatasan berikutnya karena hanya masing-masing ada satu  Puskesmas bergerak dan rumah sakit bergerak.  Untuk ibu-ibu yang akan melahirkan, tak ada cara lain yang lebih cepat yakni menggunakan bantuan dukun.

Di Pulau Enggano tidak ada angkutan, bahkan ojek pun jarang dan biayanya mahal mencapai Rp.100.000,-. Jalanan di pulau Enggano masih berupa pengerasan, kecuali antara Desa Meok dan Desa Banjarsari, sudah beraspal sepanjang 3 kilometer. Sarana pendidikan juga tak sesuai dengan jumlah mereka yang akan belajar.

Bahan makanan harus didatangkan dari Kota Bengkulu. Jika badai tiba, tentu saja kapal tidak beroperasi, sehingga persediaan bahan makanan tak bertambah. Badai seperti itu pernah kulihat langsung. Kala itu bahan makanan tidak bisa didatangkan. di Pulau Enggano untuk pisang, jengkol, emping dan kelapa berlimpah.

Aku menikmati  keterbatasan tersebut, itu bisa membahagiakanku. Di Pulau Enggano aku diajarkan tentang bagaimana sang istri menjadi stress, karena suami wafat. Sekedar untuk mengobati kehilangan tersebut dia mulai merokok. Dalam daun tembakau yang membara, ia melenyapkan duka sebisanya. Ada juga seorang ibu yang bersumpah, semoga anak perempuannya tidak berjodoh dengan orang Bugis. Ia tak berkehendak menjadikan salah satu suku pengelana laut menjadi bagian dari keluarganya. Namun bila Tuhan berkehendak, tak akan ia tolak.

Tak adanya sinyal ponsel dan kesulitan berhubungan dengan dunia luar, membuatku lebih banyak berinteraksi dengan warga  di Desa Malakoni, Banjarsari, dan Kaana.

Di Banjarsari, aku belajar tentang kerelaan istri untuk dipoligami. Di desa ini pula, aku melihat bagaimana seseorang dengan gampangnya berpindah keyakinan karena ikut agama suami. Walaupun setelah mereka bercerai, si wanita kembali ke keyakinannya lamanya.

Di pulau Enggano, inilah kusaksikan bagaimana seorang istri memukul suaminya di tengah keramaian. Saat itu sang suami sedang menyanyi di atas panggung membawakan lagu “Kau selalu di hatiku”. Belum sampai di pertengahan lagu, sang istri naik ke atas panggung dan meninju mata sang suami. Esok hari, kejadian itu menjadi cerita terpopuler di Pulau Enggano.

Disini, kusaksikan seorang kakek dan nenek yang sangat kompak setiap hari ke ladang, jalan berdampingan. Mereka mengajarkanku bahwa dalam suatu hubungan harus ada rasa saling percaya. Kakek itu pernah bercerita kepadaku, dia sangat bersemangat ke ladang jika istrinya ikut, tetapi saat nenek sakit, sang kakek tidak memiliki semangat untuk bekerja di ladang.

Di Pulau Enggano aku merasakan denyut nadi kehidupan nelayan. Bagaimana kegembiraan sang istri menyambut sang suami yang kembali dari melaut dan bagaimana kegembiraan kepala keluarga tersebut ketika membawakan oleh-oleh untuk keluarganya.

Disana aku telah dianggap sebagai bagian dari keluarga. Aku merasakannya bagaimana saat itu bapak angkatku yang kupanggil Pak Tua, setelah selama empat hari pergi melaut dan pulangnya membawakanku dua buah lobster. Dia berkata “Lobster itu jangan diganggu, itu buat ii”. Ia menyebutku ii, sang putri angkatnya. Itulah oleh-oleh untukku.

Kukatakan sekali lagi, meskipun hidup diperbatasan tetapi aku bahagia. Terlalu banyak pelajaran hidup yang aku dapatkan dalam beberapa bulan ini.

Semoga dengan perjalanan ini dapat membuatku bersyukur akan kehidupan yang telah Sang Pencipta berikan kepadaku.

  1. Terima Kasih untuk Ayuk Wati, Bapak, nenek di Kaana, keluarga Bapak Asnawi Kauno di Malakoni, Keluarga Adam di Banjarsari, Letda Kuswanto, Pak Mario dan Pak Roni atas canda tawa selama aku di Pulau Enggano. 
  2. Terima kasih buat Bang Ostaf yang telah membantu untuk mengedit tulisan ini.
  3. Terakhir terima kasih buat seseorang yang telah menenangkan jiwa ini...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun