Setidaknya ada dua kasus yang bisa menjadi contoh perlunya meningkatan kualitas regulasi dan efektivitas pemerintah. Pertama, kebocoran data yang berulang kali terjadi tanpa penyelesaian konkrit dan minimnya mitigasi dari pemerintah adalah bukti dari ketidakmampuan dan buruknya transparansi pemerintah dalam menjaga data pribadi warga negaranya.
Kedua, proses pembentukan dan revisi undang- undang, seperti Ciptaker (Cipta Kerja) dan IKN (Ibu Kota Negara) yang cepat, minim transparansi dan partisipasi publik. Apakah mungkin suatu regulasi, seperti undang-undang, bisa berkualitas dan untuk kepentingan publik, jika masyarakat kurang dilibatkan? Mungkinkah masyarakat bisa menyampaikan aspirasi bila pembentukan ataupun revisi undang-undang dilakukan secara kilat, tergesa-gesa dan tertutup?
Dalam menghadapi gejolak sosial, seperti gelombang protes demonstrasi, misalnya, pemerintah bersikap dingin dan membiarkan aparat negara, seperti polisi, bersikap represif terhadap demonstran. Rendahnya skor Indonesia dalam stabilitas politik dan ketiadaan kekerasan/terorisme (-0,4) mengindikasikan, bahwa pemerintah belum mampu mengelola gejolak sosial tanpa terjadi kekerasan.
Stabilitas politik memang dibutuhkan oleh pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun, apakah polisi yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban harus bertindak represif terhadap demonstran? Bukankah Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berekspresi?
Selain kasus tersebut, pembubaran diskusi di beberapa tempat dan kriminalisasi aktivis juga masih sering terjadi. Agaknya tidak wajar bila skor kebebasan sipil Indonesia tahun 2023 hanya 0,14 mengingat Indonesia adalah negara demokrasi.
Semakin baik tata kelola pemerintahan, semakin rendah praktik korupsi. Singapura adalah contohnya. Skor Singapura tahun 2023 dalam pengendalian korupsi sangat tinggi, yaitu 2,04.Â
Hasil itu sangat relevan dengan skor indeks persepsi korupsi di Singapura. Dalam Corruption Perceptions Indexs 2023, Singapura mendapat skor 83. Skor yang sangat jauh bila dibandingkan dengan Indonesia yang hanya mendapat skor 34.
Oleh karena itu, untuk menaikkan indeks persepsi korupsi dan tata kelola pengendalian korupsi (-0,49), pemerintah harus komitmen dan serius dalam pemberantasan korupsi.
Melemahnya pemberantasan korupsi bisa menunjukkan bahwa penegakan hukum juga lemah. Republik ini sedang mengalami degradasi etika dan moral. Tanpa etika dan moral, landasan dan penegakan hukum rapuh dan tidak bermakna. Bisa jadi hukum tidak lagi menjadi panglima. Supremasi hukum sudah diinjak-injak demi kepentingan politik.
Selama beberapa tahun ini, lembaga penegak hukum diintervensi untuk kepentingan sebagian elit politik. Bahkan, tidak jarang hukum diperjualbelikan. Sungguh ironi bila mafia peradilan lumrah terjadi di negara hukum. Sulit membayangkan, selama 10 tahun lebih, mantan pejabat Mahkamah Agung berhasil mengumpulkan uang hampir Rp 1 triliun dan 51 kg emas sebagai makelar kasus.
Dalam catatan ICW (Indonesia Corruption Watch), ada 26 hakim yang terbukti melakukan korupsi dari 2011 hingga 2023. Selain denda yang rendah, menurut ICW, selama tahun 2023 rerata hukuman dari 1.718 terdakwa korupsi hanya sekitar 3 tahun. Kepastian hukum di Indonesia sudah langka. Dan ini menjadi salah satu alasan mengapa skor penegakan hukum Indonesia hanya -0,15.